REPUBLIKA.CO.ID, oleh Febryan A
Di sidang sengketa hasil Pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) yang saat ini tengah berjalan, baik kubu pasangan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud punya petitum serupa dalam gugatan mereka. Pertama, mereka meminta MK membatalkan keputusan KPU terkait hasil Pilpres 2024. Kedua, diskualifikasi Prabowo-Gibran.
Ketiga, mereka meminta MK memerintahkan KPU menggelar pemungutan suara ulang Pilpres 2024. Mereka punya alasan serupa mengajukan petitum tersebut, yakni karena menilai pencalonan Gibran bermasalah dan menganggap telah terjadi pelanggaran bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dalam penyelenggaraan Pilpres 2024.
Program bantuan sosial (bansos) Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjelang pilpres ikut dijadikan dasar oleh para penggugat. Mereka menilai, gelontoran bansos yang masif jelang pencoblosan menguntungkan pasangan Prabowo-Gibran.
"Dalam konteks kebijakan, Presiden Jokowi melakukan abuse of power dengan cara mempolitisasi bantuan sosial ....," kata Ganjar-Mahfud dalam berkas gugatannya halaman 50.
Gugatan pasangan 01 dan 03 secara maraton dibantah oleh kubu Prabowo-Gibran. Ahli yang dihadirkan kubu Prabowo-Gibran, Hasan Nasbi, membantah kesimpulan gurunya yang menyatakan bantuan sosial (bansos) memengaruhi preferensi politik pemilih.
Menurutnya, pengaruh bansos sangat kecil. Hal itu disampaikan Hasan dalam kapasitasnya sebagai saksi pasangan Prabowo-Gibran dalam sidang sengketa Pilpres 2024 di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis (4/4/2024).
Hasan mengawali paparannya dengan menyoroti penjelasan gurunya yang menjadi ahli pasangan Ganjar-Mahfud, yakni Guru Besar Psikologi Politik Universitas Indonesia (UI) Hamdi Muluk. Hamdi sebelumnya menyimpulkan bahwa bansos yang disalurkan presiden pejawat (incumbent) berkontribusi 29 persen terhadap perilaku memilih masyarakat sehingga memperbesar tingkat keterpilihannya. Dalam konteks Pilpres 2024, bansos yang disalurkan Jokowi berpengaruh terhadap kemenangan kandidat setengah pejawat Prabowo-Gibran
Kesimpulan itu diambil setelah Hamdi melakukan analisis terhadap 10 hasil riset level Scopus terkait bansos dan perilaku memilih. Menurut Hasan, hasil analisis itu dibaca dengan cara yang salah. Angka 29 persen itu sebenarnya merupakan koefisien korelasi atau hubungan bansos dengan preferensi politik pemilih, bukan pengaruh bansos terhadap preferensi politik pemilih.
Dengan mengacu ke hasil analisis Hamdi itu, Hasan menyimpulkan bahwa pengaruh bansos terhadap pilihan politik masyarakat adalah 29 persen pangkat dua yang berarti 8 persen. Artinya, pengaruh bansos sangat kecil. "Jadi dari 100 bansos, pengaruhnya 8 persen. Kalau nyebar bansos (kepada 100 orang), kira-kira pengaruhnya ke 8 orang," ujar Hasan.
Lebih lanjut, Hasan menyebut berdasarkan pengalamannya sebagai periset statistik selama 18 tahun terakhir, dirinya menemukan bahwa bansos memang tak berpengaruh terhadap keterpilihan calon pejawat (incumbent). Kalau bansos berpengaruh terhadap tingkat keterpilihan, ujar dia, tidak mungkin Jokowi bisa mengalahkan Fauzi Bowo yang merupakan Gubernur DKI Jakarta pejawat dalam Pilgub DKI 2012.
Pasalnya, ujar dia, saat pilkada level provinsi dan kabupaten/kota biasanya calon pejawat juga menyebarkan bansos secara masif. Namun, itu tak berpengaruh.
Jika penyaluran bansos berpengaruh, lanjut dia, tak mungkin pula Ganjar Pranowo sebagai penantang bisa mengalahkan Gubernur Jawa Tengah Bibit Waluyo dalam Pilgub Jawa Tengah 2013. Begitu pula, Khofifah Indar Parawansa yang bisa mengalahkan calon pejawat Saifullah Yusuf dalam Pilgub Jawa Timur 2018.
"Kalau ada hubungan antara bansos dengan keterpilihan, Anies tidak bisa menang lawan Ahok," kata Hasan merujuk pada Pilgub DKI 2017 ketika Anies sebagai penantang berhasil mengalahkan Ahok yang merupakan gubernur pejawat.
Hasan menjelaskan, kemenangan calon pejawat biasanya bukan karena bansos, tapi karena dia dianggap lebih baik dari pada penantang. "Kalau calon lawannya dianggap lebih baik, mau kasih bansos berapa pun petahana akan kalah," ujarnya.