KINGDOMSRIWIJAYA – Apakah ada yang tahu, kapan dan di mana Alquran pertama kali dicetak di Nusantara? Seorang pegiat literasi bernama Ahmad Subhan mencoba mencari jawabannya. Untuk mencari jawaban itu Subhan berkelana, berinteraksi dengan berbagai nara sumber, juga berselancar di dunia maya.
Akhirnya jawaban pertanyaan itu kini terwujud di dalam bentuk sebuah buku digital yang diterbitkan Perpustakaan Nasional atau Perpusnas Press berjudul “Percetakan Al-Qur’an Palembang 1848: Percetakan Muslim Pertama di Nusantara”. Senin, 1 April 2024 Subhan mempublikasikan penerbitan buku digital tersebut di laman media sosial (medsos) facebook.
“Alhamdulillah manuskrip tentang percetakan Alquran pertama di nusantara sudah dibaca publik melalui platform digital. Yang ingin memiliki dan membacanya bisa diunduh melalui https://press.perpusnas.go.id/ProdukDetail.aspx?id=672”, katanya, Senin (1/4).
Subhan menceritakan keinginannya menerbitkan buku Percetakan Al-Qur’an Palembang 1848: Percetakan Muslim Pertama di Nusantara sudah ada sejak 2019. Tahun tersebut menurutnya, ia bersama beberapa orang pecinta literasi mengadakan Pekan Pekan Pustaka Palembang, tanggal 21 hingga 28 April 2019 sekaligus memperingati Hari Buku Sedunia.
Pada Pekan Pekan Pustaka Palembang 2019 diadakan pameran buku, khususnya buku-buku karya para penulis lokal Palembang. “Kegiatan ini sekaligus kami kami rancang sebagai ajang diskusi beragam topik seputar sejarah-budaya Palembang”, katanya.
Sejak tahun 2019 pada setiap Pekan Pekan Pustaka Palembang yang berlangsung lima kali panitia memajang Al-Qur’an cetak Palembang tahun 1848 koleksi pribadi Kiai Abdul Azim Amin. “Oleh para peneliti mushaf Al-Qur’an dari Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur'an, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, dianggap sebagai Al-Qur’an cetak pertama di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara”, ujar Subhan.
Ahmad Subhan menjelaskan, Alquran pertama di Nusantara tersebut selesai dicetak pada 21 Ramadan 1264 Hijriyah yang bertepatan dengan 21 Agustus 1848. “Waktu itu Kemas Muhammad Azhari selesai mencetak Alquran di Kampung 3 Ulu Palembang. Hari itu adalah momentum itu menandai kemunculan Alquran cetak pertama sekaligus percetakan muslim pertama di Nusantara”, katanya.
Subhan berkeinginan tanggal 21 Agustus 1884 saat Alquran dicetak pertama kali di Indonesia menjadi momentum sebagai Hari Buku Palembang. “Saya ingin Pemerintah Kota Palembang atau Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan menetapkan tanggal 21 Agustus sebaga Hari Buku Palembang”.
Baca: https://kingdomsriwijaya.id/posts/171006/palembang-punya-hari-buku-pada-21-agustus
Apabila Palembang atau Sumatera Selatan memiliki hari buku tersendiri, menurutnya, momentum ini dapat menjadi agenda tahunan bagi pemerintah maupun masyarakat umum merayakannya dengan beragam aktivitas untuk menanamkan kecintaan pada buku serta menumbuh suburkan budaya baca.
Barangkali ada yang bertanya, apakah momentum selesai cetak Alquran dapat dianggap sebagi hari buku? Subhan memberikan jawabannya, tentang keterkaitan makna istilah “Alquran”, “kitab”, dan “buku”. Alquran secara harfiah berarti “bacaan sempurna”. Secara kebendaan, Alquran merupakan kitab.
“Kitab” adalah kata serapan dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “kitab” bermakna sama dengan “buku”. Sedangkan istilah “buku” diserap dari kata “boek” dalam bahasa Belanda dan “book” dalam bahasa Inggris.
“Perlu diketahui bahwa masyarakat Indonesia sejak awal mengenal “buku” sebagai produk cetak. Itulah mengapa ada pembedaan antara buku cetak dengan naskah/manuskrip yang memuat teks tulisan tangan. Dengan kata lain, naskah/manuskrip yang merupakan hasil kerja manual tulis tangan berbeda dengan buku sebagai produk teknologi cetak”, tulis Ahmad Subhan pada bagian Sekapur Sirih buku ini.
Subhan menegaskan, inilah landasan berpikir memilih tanggal selesainya pencetakan Alquran di Palembang pada 21 Agustus sebagai momentum Hari Buku Palembang.
“Jika ada yang menduga bahwa buku ini merupakan bagian dari kampanye penetapan Hari Buku Palembang. Ya, penulis secara terbuka mengakuinya”, ujar Subhan yang juga menjalani pendidikan di UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta.
Sementara mengenai isi buku Percetakan Al-Qur’an Palembang 1848: Percetakan Muslim Pertama di Nusantara, menurut Subhan ada beberapa aspek yang melatarbelakangi kemunculan Percetakan Kemas Muhammad Azhari yang mencetak Alquran menggunakan alat cetak batu atau litografi di Palembang pada tahun 1848.
Ahmad Subhan yang kerap menyebut dirinya Pustakawan Partikelir dalam buku setebal 110 halaman ini memaparkan narasi jejak-jejak keberaksaraan di kota pinggiran Sungai Musi ini pada era Kedatuan Sriwijaya, Kesultanan Palembang, hingga masa Hindia Belanda.
“Tonggak-tonggak sejarah itu menjadi latar kemunculan Percetakan Kemas Muhammad Azhari sebagai percetakan muslim pertama di Nusantara”, kata Subhan yang menempuh pendidikan di Ilmu Perpustakaan & Informasi dari Universitas Gajah Mada (UGM).
Subhan mengharapkan kehadiran buku yang ditulisnya dapat memperluas cakrawala pengetahuan tentang sejarah percetakan di Kota Palembang, sekaligus untuk memantik kajian-kajian baru mengenai sejarah keberaksaraan di kota tertua di Indonesia ini.
Subhan mengharapkan kehadiran buku yang ditulisnya dapat memperluas cakrawala pengetahuan tentang sejarah percetakan di Kota Palembang, sekaligus untuk memantik kajian-kajian baru mengenai sejarah keberaksaraan di kota tertua di Indonesia ini.
Dalam buku ini menguraikan secara historis tentang Palembang menjadi tempat pencetakan Alquran yang pertama secara regional Asia Tenggara. Dari perspektif kalangan muslim, Palembang adalah kota yang penting di kawasan Asia Tenggara pada abad ke-19.
Pada paruh kedua abad ke-19, Palembang disebut-sebut sebagai kawasan pemukiman komunitas Arab terbesar di Asia Tenggara. Palembang juga memiliki jamaah haji yang besar sehingga membuka peluang bagi Azhari menjadi pendamping jamaah haji asal Palembang. Sehingga Azhari memiliki kesempatan untuk mengakses pengetahuan tentang dunia percetakan di berbagai kawasan, khususnya di India dan Singapura, sesuai jalur pelayaran pulang-pergi ibadah haji.
Selain sebagai konsekuensi dari perjalanan ibadah haji, kemunculan percetakan Muhammad Azhari juga merupakan implikasi dari fenomena penyebaran budaya cetak lintas benua oleh agen-agen misionaris yang memiliki jaringan internasional. India dan Singapura yang Azhari singgahi merupakan koloni-koloni Inggris yang dinamis dalam peta perkembangan percetakan muslim dengan litografi sebagai sarana utamanya.
Pertumbuhan percetakan di dua kawasan itu tak lepas dari peran para misionaris yang melakukan dakwah dengan memanfaatkan teknologi cetak untuk memroduksi Alkitab dan teks-teks ajaran Kristen. Percetakan Muhammad Azhari merupakan resultan dari perjalanan misi keagamaan Islam dan Kristen yang melintasi Selat Malaka sebagai jalur pelayaran di mana Singapura menjadi titik persilangan budaya cetak.
“Litografi menjadi teknologi cetak yang dipilih oleh Muhammad Azhari untuk mencetak Alquran”, kata Subhan, “Karena dapat mengakomodasi nilai-nilai penting dalam kalangan muslim. Alquran merupakan kitab suci yang harus ditulis oleh muslim yang senantiasa mensucikan diri”.
Menurut Subhan, dengan litografi, umat muslim dapat menggandakan mushaf yang disalin secara tulis tangan sehingga dapat memenuhi aspek estetis-kaligrafis aksara non-Latin yang sulit diakomodasi oleh tipografi pada abad ke-19.
Dalam buku yang terbagi menjadi empat bab ini, juga menjelaskan tentang percetakan Muhammad Azhari yang hanya bertahan selama enam tahun (1848-1854). Usia usaha percetakan yang tak panjang ini sepadan dengan karakter tipografi sebagai teknologi cetak transisional antara tradisi khirografi dengan tipografi.
Litografi yang merupakan perpanjangan tradisi manuskrip segera digantikan oleh tipografi yang semakin baik kualitas cetaknya menjelang akhir abad ke-19, sehingga pada dekade-dekade awal abad ke-20 penggunaan tipogafi dan produk-produk cetaknya mendominasi lanskap budaya cetak di Hindia Belanda dan Asia Tenggara.
Meski demikian, tradisi manuskrip belum hilang sama sekali, mengingat masih ditemukannya naskah-naskah baru yang diproduksi dan beredar di Palembang melalui praktik persewaan naskah secara komersial sejak dekade 1880-an hingga 1920-an.
Mengingat buku ini tentang percetakan Alquran, diperlukan kajian lebih lanjut untuk melacak perkembangan budaya cetak di Palembang pasca Azhari yang telah menggunakan teknik tipografi. Beberapa usaha percetakan di Palembang yang muncul pada paruh kedua abad ke-19 dan paruh pertama abad ke-20 merupakan lanskap budaya cetak yang masih belum banyak dikaji.
Buku ini juga dilengkapi dengan kata pengantar dari Mal An Abdullah yang pernah menjabat Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Selatan. Mal An Abdullah menorehkan catatannya, “Hanya sedikit orang Palembang sekarang yang tahu tentang kampung 3 Ulu, karena kini kampung itu sudah digabung menjadi Kelurahan 3/4 Ulu. Lebih sedikit lagi mereka yang tahu bahwa ia sangat bersejarah karena di kampung inilah mushaf Quran pertama kali dicetak di Indonesia”.
Menurutnya, peristiwa penting ini terjadi pada tahun 1848. Tokohnya ialah ulama Kemas Muhammad Azhari b. Abdullah b. Ahmad (1811- 1874). Di masa kecilnya ia belajar pada ayahnya sendiri, yang juga seorang ulama. Setelah itu ia melanjutkan ke Haramayn (Makkah dan Madinah), kemudian ke Mesir dan juga India.
Semasa di Haramayn Muhammad Azhari antara lain diketahui berteman dengan Nawawi al-Bantani dan Ahmad Zaini Dahlan, yang juga kita kenal sebagai ulama penulis ternama. Muhamad Azhari sendiri menghasilkan sejumlah karya tulis, antara lain ‘Athiyat al-Rahmân (1843) dan Tuhfat al-Murîdîn (1859).
Proses pencetakan mushaf tidak dikerjakan Muhammad Azhari seorang diri. Dia dan sejumlah tenaga Palembang dibantu oleh tenaga “profesional” dari Singapura, yaitu “Ibrahim b. Husayn, Sahab Nagur nama negerinya, Singapura tempat kediamannya, daripada murid tuan Abdullah b. Abdul-Qadir Munsyi, Malaka.” Menurut perkiraan Peeters tokoh terakhir ini mungkin berasal dari kota Nagur (atau Nagore) di Rajasthan, atau Nagor di India Selatan.
Jumlah mushaf yang dicetak sebanyak 105 buah quran, dikerjakan dalam 50 hari, sehingga bila dirata-ratakan setiap satu hari berhasil dicetak sebanyak dua quran tiga juz. (maspril aries)