REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Direktur Eksekutif IndoBarometer M. Qodari menjadi saksi ahli untuk memberikan keterangan sesuai keahliannya dalam bidang statistik yang dihadirkan kuasa hukum Prabowo-Gibran pada sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum atau PHPU Presiden dan Wakil Presiden, di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (4/4/2024) malam WIB.
Dalam pemaparan bahannya berjudul Efek Bansos dan Perilaku Memilih dalam Pilpres Indonesia 2024, Qodari menjelaskan hasil rangkuman survei yang menunjukkan bahwa bansos tidak menjadi faktor utama dalam memengaruhi keputusan pemilih, baik untuk mendukung Prabowo-Gibran maupun pasangan lainnya.
Qodari mengutip data exit poll yang dilakukan Litbang Kompas pada 14 Februari 2024, bahwa yang ditawari dan menerima bansos di antara 3 kelompok pemilih proporsinya sama yaitu 15%-16%, namun tidak mempengaruhi elektabilitas capres-cawapres.
“Riset yang pertama exit poll Litbang Kompas tentang penerima bansos yang kesimpulannya adalah ini kesimpulan Kompas sendiri ya penulisnya bukan dari saya, tidak ada perbedaan proporsi penerima bansos di antara pemilih ketiga calon dan perlinsos atau bansos bukan penentu untuk kemenangan kandidat,” ujar Qodari
Kedua, kata Qodari, survei Indikator Politik Indonesia juga menampilkan hal yang sama dari 22,5% menerima bansos dan 77,3% tidak menerima bansos tetap memilih Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai presiden dan wakil presiden.
“Yang menerima bansos yang memilih Prabowo-Gibran 59,3%, yang tidak menerima bansos yang memilih Prabowo-Gibran 58,7%. Jadi sama saja, terima bansos gak terima bansos itu tetap milih Prabowo-Gibran,” ucapnya.
Ketiga, lanjut Qodari, survei dari Indo Barometer bulan Oktober 2023 tentang alasan memilih calon presiden tidak ada alasan karena menerima bansos.
Tertinggi alasan masyarakat memilih calon presiden dari pertanyaan terbuka yaitu orangnya tegas dan berani 25%, perhatian dengan rakyat 16,2% dan orangnya pintar 8,4%, berwibawa 6,2% selain alasan itu di bawah 5%.
“Kalau di-breakdown ternyata 100% orang yang memilih presiden karena tegas itu ke Prabowo 87,9% ke Ganjar 6,9% ke Anies 5,3%. Orang yang memilih presiden karena alasan dekat dengan rakyat yang ke Prabowo 9,4% ke Ganjar 78,8% ke Anies 11,9%. Orang yang mau presiden pintar ke Prabowo 8,4% ke Ganjar 20,5% ke Anies 71,1% dan seterusnya. Jadi kita lihat memang masyarakat itu memilih capres karena dia punya kualitas tertentu,” jelasnya.
Menurut Qodari, masyarakat lebih cenderung memilih calon presiden berdasarkan kualitas kepemimpinan yang tegas dan keterhubungannya dengan rakyat.
"Jadi alasan masyarakat memilih capres karena punya kualitas tertentu. Hal serupa juga berlaku pada money politic atau serangan fajar, sehingga tidak ada jaminan antara pemberian money politic dengan memilih kandidat apalagi itu pemberian perlinsos, ” jelasnya
Qodari menambahkan alasan kenapa Prabowo dengan kualifikasi tegas lebih banyak dipilih dibandingkan dengan Ganjar yang dianggap merakyat atau Anies yang dinilai pintar karena proporsi pemilih yang menginginkan pemimpin tegas lebih besar dari pada aspek lainnya.
“Kenapa calon A menang dibandingkan dengan calon B? Karena yang mau kualifikasi A mungkin proporsinya lebih besar daripada kualifikasi B, saya ingat tahun 2014 yang menang Pak Jokowi, kenapa? Yang mau presiden merakyat lebih tinggi dari pada yang mau presiden tegas,” bebernya.
“Tahun 2019 pola itu tetap sama ditambah satu variabel lagi yang tinggi kerja nyata dan itu lari kepada Pak Jokowi. Tahun ini kalau survei Indo Barometer paling tinggi adalah orangnya tegas,” imbuhnya.
Hal yang sama juga kata Qodari berdasarkan temuan survei Indikator di mana masyarakat memilih bukan karena faktor bansos, melainkan karena paling mampu memimpin, suka saja, jujur amanah bisa dipercaya dan seterusnya.
“Survei Indikator ini alasan-alasannya kalau versi indikator ini paling mampu memimpin, suka saja, jujur, ingin perubahan paling meyakinkan dan seterusnya,” ucapnya.
Selain itu, Qodari memaparkan semakin tinggi pendidikan dan pendapatan maka semakin sedikit menerima bansos dari pemerintah.
“Saya mau tunjukkan bagaimana penerima bansos kalau menurut survei itu makin tinggi pendidikan makin rendah, di bawah SD 26%, kalau sudah kuliah 7% saja. Yang menerima bansos, pendapatan yang di bawah 1 juta 32%, yang di atas 4 juta masih ada juga nih 11%,” urainya.
Namun dari data tersebut ternyata masyarakat yang memilih Prabowo-Gibran justru yang terbesar bukan dari pemilih yang menerima bansos.
“Yang pendidikan SD yang memilih Prabowo-Gibran 55%, yang kuliah 71%. Pendapatan di bawah 1 juta yang milih Prabowo-Gibran 49,8%, di atas 4 juta 72,7%. Jadi justru di kalangan yang paling sedikit menerima bansos malah pasangan Prabowo-Gibran justru lebih kuat lalu,” terangnya.
Lebih jauh Qodari menerangkan bukti secara tidak langsung yang tidak berdasarkan riset, meskipun tidak ada bansos dan kepala desa di luar negeri, Prabowo-Gibran tetap unggul.
“Melihat efek bansos pada pilihan capres lewat hasil pemilu kita lihat di luar negeri langsung, di situ ternyata di luar negeri di mana tidak ada bansos, tidak ada kepala desa, malah angka 02, 63,73%, sehingga saya berseloroh bahwa seharusnya kalau di Indonesia gak ada bansos ya harusnya kita 63,73% juga istilahnya,” ungkap Qodari.
Dijelaskan Qodari, dari data-data dan pola perilaku pemilih, ia berkesimpulan bansos tidak ada pengaruhnya terhadap kemenangan Prabowo-Gibran.
“Mengapa perlinsos, bansos tidak mempengaruhi pilihan presiden? Ini bukan perasaan ya, ini kan data survei karena rakyat sesungguhnya perlinsos berbeda dengan money politics atau serangan fajar. Bansos dari pemerintah dikonstruksi atau dipersepsi oleh masyarakat sebagai hak mereka, perlu dibuat distingsi antara perlinsos dari negara dan money politic atau serangan fajar dari oknum kandidat,” paparnya.
“Perlinsos adalah program negara untuk melindungi masyarakat yang rentan, warga negara merasa berhak untuk mendapatkan perlinsos dan karena itu melihatnya sebagai kewajiban. Sementara money politic adalah upaya dari kandidat untuk membeli suara pemilih,” tukas Qodari.