Ahad 07 Apr 2024 12:47 WIB

Tren PayLater tak Hanya Meresahkan di Indonesia, Tapi Juga di Inggris

Volume pasar Paylater di Inggris ini telah meningkat lebih dari empat kali lipat.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Lida Puspaningtyas
Metode pembayaran paylater (ilustrasi).
Foto: www.freepik.com
Metode pembayaran paylater (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekhawatiran perilaku berutang menggunakan Paylater yakni 'Beli Sekarang Bayar Nanti' di Inggris terus meningkat setelah data menunjukkan kenaikan empat kali lipat. Para penggiat dan anggota parlemen pun menuntut Pemerintah membuat regulasi di sektor ini karena semakin tidak terkendalinya konsumen yang menggunakan metode pembayaran untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Dilansir dari The Guardian, Ahad (7/4/2024), Kementerian didesak untuk melakukan intervensi atas lonjakan kredit Paylater yang tidak diatur setelah jumlah belanja konsumen Inggris secara online menggunakan kesepakatan tersebut meningkat hingga 1,7 miliar poundsterling per bulannya.

Baca Juga

Penasihat utang juga memperingatkan, banyak orang secara rutin menunda pembayaran untuk membeli kebutuhan rumah tangga. Konsumen yang memudian melewatkan pembayaran berisiko bermasalah kepada penagih utang jika tidak segera dikelola.

Volume pasar Paylater di Inggris ini telah meningkat lebih dari empat kali lipat sejak tahun 2020 dan diperkirakan akan mencapai rekor total 30 miliar poundsterling  tahun ini. Kelompok kampanye menuntut tindakan segera untuk mengatur sektor ini.

Direktur Sementara Kebijakan di Citizens Advice, Morgan Wild mengatakan, sudah tiga tahun pemerintah berjanji untuk mengatur regulasi Paylater dan kini menjadi masalah yang mendesak untuk diselesaikan.

“Pada saat itu, penggunaan dana bantuan telah meroket, dan para penasihat garis depan kami kini melihat tiga kali lebih banyak orang yang membutuhkan bantuan untuk membayar utang mereka. Banyak dari mereka memerlukan bantuan darurat, seperti voucher bank makanan, yang menjadi peringatan bahwa pemberi pinjaman gagal melindungi masyarakat dari risiko utang yang tidak dapat dikelola," ujarnya

Angka yang dikumpulkan oleh Adobe Digital Insights melacak ratusan juta transaksi ritel setiap bulannya, menunjukkan transaksi “beli sekarang, bayar nanti” menyumbang lebih dari 1 poundsterling dalam setiap 7 poundsterling yang dibelanjakan secara online dalam tiga bulan pertama tahun 2024.

Total pembelanjaan online pada tahun 2023 berdasarkan kesepakatan tersebut adalah 16,7 miliar poundsterling, dengan pengeluaran bulanan antara 1,09 miliar poundsterling dan 1,75 miliar poundsterling menurut angka yang diberikan kepada Observer. Diperkirakan 9 miliar poundsterling lainnya dihabiskan di toko fisik yang menawarkan fasilitas “beli sekarang, bayar nanti” pada tahun yang sama.

Pilihan untuk menunda pembayaran telah tersedia selama lebih dari satu dekade menjadi lebih populer selama pandemi karena masyarakat lebih bergantung pada belanja online, dan permintaan kredit yang tinggi.

Sebuah tinjauan yang dilakukan oleh Christopher Woolard, mantan kepala eksekutif sementara di Financial Conduct Authority (FCA) menemukan, kesepakatan tersebut merupakan alternatif yang berarti terhadap pinjaman gaji, namun memiliki potensi kerugian konsumen yang signifikan.

Woolard merekomendasikan dalam laporannya pada tahun 2021 agar undang-undang diubah sesegera mungkin untuk memastikan bahwa semua produk tersebut diatur oleh FCA.

The Observer mengungkapkan pada Januari 2022 bahwa pembeli didesak untuk menggunakan Paylater untuk berbelanja bahan makanan sebagai cara untuk mengatasi masa-masa sulit. Kredit dipromosikan pada barang-barang seperti fillet salmon, makanan hewan, dan pizza yang bisa dibawa pulang. Sebungkus 24 kaleng limun R Whites dipromosikan dengan pembayaran pertama sebesar 1,75 poundsterling.

Kemudian, Departemen Keuangan menerbitkan proposal rancangan undang-undang untuk mengatur sektor ini pada Februari 2023, namun proposal tersebut belum dilaksanakan. Pemerintah sekarang berada di bawah tekanan untuk mengambil tindakan.

Laporan dari Citizens Advice pada bulan November lalu mengungkapkan 35 persen orang yang rutin menggunakan transaksi “beli sekarang, bayar nanti” telah menggunakan fasilitas tersebut untuk membayar bahan makanan. Ditemukan juga bahwa selama periode 12 bulan, satu dari lima pengguna kesepakatan telah melewatkan atau terlambat melakukan pembayaran.

Anggota parlemen dari Partai Buruh Stella Creasy menyerukan agar sektor ini diatur setelah setahun sejak konsultasi pemerintah mengenai peraturan Paylater ditunda dan empat tahun sejak parlemen dan regulator menyetujui bahwa diperlukan tindakan. Hal ini karena penundaan ini menyebabkan lebih banyak orang ke dalam utang yang tidak berkelanjutan.

“Dengan nasabah yang tidak bisa pergi ke Financial Ombudsman jika terjadi masalah, bentuk hutang tanpa jaminan ini seharusnya tidak dibiarkan tumbuh seperti ini, dan kita sekarang melihat orang-orang sudah menderita selama krisis biaya hidup untuk membayar biayanya,” ujarnya.

"Bentuk utang seperti ini seharusnya tidak dibiarkan bertambah besar. Masyarakat yang sudah menderita akibat krisis biaya hidup kini harus menanggung dampaknya," tambahnya.

Joe Cox, pejabat kebijakan senior di kelompok kampanye Debt Justice, mengatakan beberapa orang yang sudah berada dalam kesulitan keuangan beralih ke Paylater karena mereka kehabisan pilihan lain. Namun hal ini dapat membawa mereka lebih jauh ke dalam bahaya. Spiral utang yang membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk pulih. Para peminjam ini berhak mendapatkan perlindungan hukum yang sama dengan semua jenis kredit konsumen lainnya.

Penyedia industri besar Paylater mengatakan, pembayaran yang ditangguhkan sangat populer di kalangan konsumen karena dapat membayar pembelian mereka dalam tiga atau empat kali angsuran tanpa bunga. Sebuah laporan oleh Experian pada bulan September lalu menemukan bahwa jumlah orang yang gagal membayar cukup rendah.

Dosen pemasaran di Newcastle University Business School Jane Brown, yang telah meneliti penggunaan produk Paylater, mengatakan bahwa banyak konsumen yang senang dengan produk tersebut karena tawaran pengaturan fleksibel untuk membantu masyarakat mengelola keuangan mereka. Namun dia memperingatkan bahwa konsumen mudah meremehkan jumlah pengeluaran mereka.

“Masyarakat tidak hanya mempunyai transaksi paylater, tapi juga kartu kredit dan pinjaman bank. Begitu ia mulai kabur, sulit untuk mengendalikannya kembali," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement