Ahad 07 Apr 2024 13:01 WIB

Viral Merek Diboikot Jadi Sponsor di Masjid Istiqlal, Efektif Redakan Stigma Negatif?

Sebanyak 61,2 persen nyatakan tidak setuju strategi donasi dan akan tetap memboikot.

Rep: Fauziah Mursid/ Red: Lida Puspaningtyas
Pakar Marketing Yuswohady.
Foto: ACT
Pakar Marketing Yuswohady.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Viral tangkapan gambar acara bantuan sosial di Masjid Istiqlal Jakarta yang disponsori oleh brand yang ramai diboikot masyarakat. Hal tersebut membuat riuh media sosial dengan warganet mempertanyakan dan menyatakan kekecewaan mendalam pada managemen Masjid Istiqlal yang dinilai tidak sensitif pada upaya boikot produk pro Israel sebagai bentuk solidaritas pada kondisi genosida di Palestina.

Belakangan, brand-brand yang diboikot memang melakukan sejumlah strategi marketing promosi produk gratis hingga donasi yang menggandeng lembaga atau institusi Islam. Pakar menilai strategi sejumlah brand menggelar donasi, pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza hingga menggandeng filantropi Islam ini bisa cukup efektif dalam meredam aksi boikot produk yang berafiliasi dengan Israel.

Baca Juga

Pakar Marketing Yuswohady menyebut tingkat pengaruh strategi ini terhadap perubahan masyarakat cukup tinggi, bahkan hampir mencapai 40 persen di kalangan generasi Z dan Milenial. Hal ini berdasarkan riset yang ia lakukan per Maret 2024.

Riset Inventure menunjukkan sebanyak 38,8 persen responden menyatakan akan berhenti melakukan boikot kepada produk atau layanan yang dianggap terafiliasi dengan Israel jika produsen produk atau layanan tersebut telah melakukan berbagai aksi CSR seperti donasi, aksi peduli, pengiriman bantuan untuk para korban di Gaza.

"Cukup besar ya 40 persen. Saya awalnya juga tidak percaya, saya kira kalau udah stigma dicap pro dengan Israel akan terus diboikot tetapi survei menunjukkan jika perusahaan merespon dengan aksi donasi itu membuat customer lulu," ujar Yuswohady dalam keterangannya kepada Republika, Ahad (7/4/2024).

Sedangkan responden yang menyatakan tidak setuju atau tetap memboikot jumlahnya cukup besar yakni 61,2 persen. Hal ini juga menunjukkan stigma produk pro Israel cukup besar di masyarakat.

Menurutnya, survei ini dilakukan dengan mayoritas responden adalah generasi Z sebanyak 81,2 persen dan milenial 18,8 persen. Karenanya, hasilnya bisa berbeda jika dilakukan ke generasi X maupun lainnya.

Berdasarkan riset Inventure, sebagian besar responden (hampir 90 persen) setuju dengan pemboikotan. Namun kalau ditelisik lebih dalam, sebagian besar alasan mereka memboikot (sekitar 60 persen) adalah karena faktor emosional-universal, yaitu: solidaritas kemanusiaan dan penolakan terhadap brand yang mendukung konflik.

Di lain sisi, alasan spiritual, yaitu dukungan terhadap Palestina karena pertimbangan sesama kaum muslim hanya sebesar 32,8 persen.

"Itu yang menarik di survei, alasannya itu adalah sekali lagi, kalau based on milenial dan Gen Z itu alasan kemanusiaan, bukan alasan keagamaan. Karena saya kira muslim Indonesia ini moderat, jadi lebih ke kemanusiaan," ujarnya.

Karenanya, Yuswohady menilai, jika strategi ini terus dilakukan oleh brand-brand yang terimbas boikot, akan berpengaruh untuk bebeberapa segmen masyarakat.

"Betul, kalau dia lakukan longterm nanti akan luluh," ujarnya.

Namun demikian, Yuswohady menilai kondisi ini hanya bisa terjadi jika ada brand-brand yang konsistem melakukan upaya sosial. Sebab, tidak jarang antara brand di tingkat pusat kontradiksi dengan brand yang berada di wilayah terdampak boikot.

"Jadi kalau disitu dilakukan konsisten, di Indonesia di global, akan melunak, karena mereka rasional sanksi ini tujuannya berhasil kalau dia bisa mengubah, tetapi yang saya amati dalam kasus ini ada brand- brand yang antara kebijakan Indonesia dan pusat berbeda sehingga agak sulit karena kontradiksi," ujarnya.

Dalam survei Inventure juga disebutkan brand yang paling terdampak oleh boikot adalah brand-brand resto siap saji global. McDonalds’s menempati urutan pertama sebesar 52,4 persen, disusul Starbucks 37,9 persen, Burger King 4,4 persen, dan KFC 2,9 persen dan terakhir Pizza Hut 2,4 persen.

"Kesimpulan umum yang kami dapatkan, brand-brand yang paling banyak diboikot adalah brand-brand yang memiliki awareness tinggi (household brands). Di samping itu, berita-berita yang beredar di media mengenai keberpihakan brand-brand tersebut kepada agresi Israel sangat memengaruhi keputusan konsumen untuk memboikot produk," ujarnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement