REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL -- Ranjau darat dan bahan peledak lain memakan sedikitnya 1.052 korban sipil di seluruh Myanmar pada tahun lalu, menurut badan dana anak-anak PBB (UNICEF), pekan lalu. Terkait situasi yang "mengkhawatirkan" itu, UNICEF menyatakan hampir semua negara bagian dan wilayah di negara Asia Tenggara itu, selain ibu kota Naypyidaw, kini dilaporkan telah terkontaminasi ranjau darat.
Berdasarkan data, UNICEF menyebutkan, jumlah korban ranjau darat tahun lalu di Myanmar hampir tiga kali lipat dari jumlah yang dilaporkan pada 2022, yakni 390 insiden. "Lebih dari 20 persen korban adalah anak-anak," kata UNICEF dalam sebuah pernyataan, merujuk pada jumlah total korban yang tercatat pada tahun sebelumnya.
Myanmar didera konflik internal politik dan etnis yang semakin memburuk sejak militer, yang secara lokal dikenal sebagai Tatmadaw, menggulingkan pemerintahan sipil pada Februari 2021. "Penggunaan ranjau darat tidak hanya tercela tetapi juga merupakan pelanggaran hukum kemanusiaan internasional," kata Debora Comini, Direktur Regional UNICEF untuk Asia Timur dan Pasifik.
"Sangat penting agar semua pihak yang berkonflik memprioritaskan keselamatan dan kesejahteraan warga sipil, khususnya anak-anak, dan mengambil langkah darurat untuk menghentikan penggunaan senjata yang bisa mengenai siapa saja," ujar Comini.
Myanmar saat ini termasuk di antara negara-negara yang paling terkontaminasi ranjau darat dan bahan peledak di seluruh dunia, menurut badan PBB tersebut. Meningkatnya konflik internal baru-baru ini di Myanmar telah menyebabkan lebih dari 2,8 juta orang mengungsi dan lebih dari 18 juta orang lainnya sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan, kata UNICEF.