Kamis 11 Apr 2024 08:15 WIB

Suara Kemerdekaan Palestina Sudah Bergaung di Bandung 69 Tahun Lalu

KAA Bandung merupakan momen penting dalam membangun aliansi antara negara Asia

Rep: Lintar Satria/ Red: Setyanavidita livicansera
Massa menggelar aksi solidaritas Doa Untuk Gaza di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Ahad (7/4/2024). Dalam aksinya mereka menggelar doa bersama untuk kebebasan Palestina dari jajahan Israel, mengutuk keras pembunuhan massal yang dilakukan Israel dalam konflik di Palestina, serta menyerukan seluruh umat muslim untuk memboikot semua produk yang terafiliasi dengan Israel sebagai bentuk kepedulian terhadap warga Palestina.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Massa menggelar aksi solidaritas Doa Untuk Gaza di kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta, Ahad (7/4/2024). Dalam aksinya mereka menggelar doa bersama untuk kebebasan Palestina dari jajahan Israel, mengutuk keras pembunuhan massal yang dilakukan Israel dalam konflik di Palestina, serta menyerukan seluruh umat muslim untuk memboikot semua produk yang terafiliasi dengan Israel sebagai bentuk kepedulian terhadap warga Palestina.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Perjuangan rakyat Palestina meraih kemerdekaan dan menentukan nasib sendiri belum mereda sejak Perang Dunia I. Dalam Pertemuan Paris tahun 1919, rakyat Palestina sudah menuntut kemerdekaan dari penjajah.

Namun seperti kebanyakan rakyat terjajah saat itu tuntutan mereka diabaikan. Dalam artikelnya di Middle East Eye, profesor politik Arab modern Columbia University, New York, Joseph Massad mengatakan dukungan negara kolonial atau penjajah pada Zionisme meningkat ketika proyek yang didukung Liga Bangsa-bangsa memasukan Deklarasi Balfour yang meresmikan Palestina diserahkan ke Inggris.

Baca Juga

Setelah Perang Dunia II perjuangan dan seruan kemerdekaan di seluruh dunia menguat. Selain di dunia Arab gerakan kemerdekaan juga menguat di India, Indonesia dan Vietnam. Pada 1945 gerakan Pan-Afrika dihidupkan kembali dalam kongres kelima yang digelar di Manchester. Gerakan ini menuntut kemerdekaan bagi masyarakat Afrika yang berada di bawah kekuasaan kolonial, termasuk di Afrika Utara dan protektorat Prancis.

Indonesia pun menjadi tuan rumah pertemuan Asia-Afrika di Bandung. Pertemuan itu diselenggarakan India, Pakistan, Burma, Indonesia, dan Sri Lanka. Dari 29 negara yang berpartisipasi enam diantaranya negara Afrika: Mesir, Libya, Sudan (yang saat itu belum merdeka), Ethiopia, Gold Coast (yang masih merupakan koloni Inggris), dan koloni pemukim Liberia.

Di antara para negara pengamat yang hadir adalah perwakilan dari gerakan kemerdekaan di koloni-koloni di Maroko, Tunisia, dan Aljazair, serta tiga pengamat Kongres Nasional Afrika dan Kongres India Afrika Selatan dari Afrika Selatan. Anggota Kongres Kulit Hitam AS, Adam Clayton Powell, juga datang untuk "membela posisi Amerika Serikat dalam kaitannya dengan masalah warga kulit hitam".

Mantan mufti agung Yerusalem dari Palestina Haji Amin el-Husseini bergabung dengan delegasi Yaman, seperti halnya perwakilan dari Irian Barat yang menginginkan pembebasan dari Belanda. Massad mengatakan apa yang terjadi di Bandung, merupakan perlawanan terhadap hegemoni kekuatan imperialisme, terutama AS yang menentang seruan penentuan nasib sendiri.

Negara-negara Asia dan Afrika sudah memperjuangkan dimasukkannya penentuan nasib sendiri di PBB sejak akhir Perang Dunia Kedua. Sejak 1950, perdebatan mengenai penjajah di Komite Ketiga Majelis Umum PBB telah berkecamuk.

Dengan negara-negara penjajah bersikeras agar klausul penjajahan tidak dimasukan ke dalam resolusi yang akan datang. Pada 1952, Amerika menolak resolusi Majelis Umum PBB yang menyatakan penentuan nasib sendiri merupakan hak asasi manusia dan "dengan pahit menolak persyaratan yang mengharuskan negara-negara penjajah melaporkan kemajuan wilayah-wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri menuju pemerintahan sendiri".

Massad mengatakan delegasi Asia dan Afrika di Konferensi Bandung penentang keras kolonialisme. Di antara mereka terdapat delegasi Arab dari Suriah, Irak, dan Arab Saudi, yang memainkan peran penting dalam mengalahkan klausul kolonial dan mendorong penentuan nasib sendiri sebagai hak asasi manusia.

Beberapa bulan setelah Konferensi Bandung, pada bulan November 1955, Komite Ketiga menyepakati perumusan hak untuk menentukan nasib sendiri, yang kemudian diadopsi dalam resolusi 1960 dan Kovenan PBB 1966. Pemungutan suara dilakukan setelah pemerintah dan perusahaan-perusahaan AS selalu bersikap keras terkait isu menentukan nasib sendiri secara ekonomi di PBB. 

Mereka bersikeras hak tersebut hanya dapat mencakup penentuan nasib sendiri secara politis. Terutama setelah Presiden Guatemala Jacobo Arbenz Guzman melakukanreformasi lahan yang merujuk pada resolusi Majelis Umum PBB tahun 1952 yang mendukung nasionalisasi dan mengancam bisnis-bisnis AS.

AS kemudian menggulingkan Arbenz dari kekuasaannya lewat kudeta militer pada tahun 1954. Chili, seperti negara-negara Amerika Latin lainnya, yang secara ekonomi didominasi AS, pada gilirannya berusaha untuk mengubah rancangan perjanjian hak asasi manusia pada tahun yang sama untuk menyatakan "hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri termasuk hak ekonomi untuk mengontrol semua sumber daya alam mereka dan tidak dirampas penggunaannya atau cara hidup mereka oleh tindakan kekuatan luar mana pun."

Dunia imperialis kulit putih takut pada Konferensi Bandung ini dan mengutuknya sebagai komunis, karena konferensi itu mengecam rasialisme di Afrika Selatan dan kolonialisme di Maroko, Aljazair, dan Tunisia. Konferensi ini juga mendukung hak-hak rakyat Palestina dan klaim Indonesia atas Irian Barat.

Batas-batas Solidaritas

Koloni pemukim Yahudi Israel, seperti Afrika Selatan, tidak diundang untuk hadir meskipun ada upaya dari Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru dan Perdana Menteri Burma U Nu untuk mengundangnya. Namun ditentang keras oleh Indonesia.

Indonesia juga menolak dukungan India untuk mengundang koloni Australia dan Selandia Baru. Meskipun tak satupun dari kedua koloni pemukim Oseania tersebut tertarik untuk hadir. "Ini adalah konferensi internasional pertama bagi bangsa-bangsa kulit berwarna dalam sejarah umat manusia," kata Presiden Sukarno mengumumkan kepada para delegasi dan seluruh dunia.  

Ia melihat, Konferensi Asia-Afrika ini sebagai tradisi dari Liga Melawan Imperialisme yang telah bertemu di Brussel tiga dekade sebelumnya. Sukarno mengakui pertemuan itu sebagai pendahulu yang membuat Konferensi Bandung menjadi mungkin.

Sukarno berbicara tentang kolonialisme dalam "pakaian modern dalam bentuk kontrol ekonomi, kontrol intelektual, kontrol fisik yang nyata oleh komunitas kecil tapi asing di dalam suatu bangsa".

Meskipun Uni Soviet, yang secara substansial berada di Asia, tidak diundang, mereka mengirim pesan dan salam untuk mendukung konferensi tersebut. Zhou Enlai dari Cina menawarkan kerja sama, pengakuan, dan toleransi. Delegasi Cina termasuk seorang pemimpin Cina yang beragama Islam.

Pada saat yang sama, CIA mengirim mantan kolaborator Muslim Soviet dengan Nazi (yang usia Perang Dunia II direkrut CIA) ke Konferensi Bandung untuk melakukan propaganda menentang dugaan perlakuan buruk Uni Soviet terhadap Muslim Soviet untuk meruntuhkan posisi Soviet di antara negara-negara non-blok.

Seorang pejabat pemerintahan Eisenhower mengidentifikasi operasi CIA di Bandung sebagai langkah "Machiavellian". Tidak seperti solidaritas besar-besaran yang ditunjukkan  beberapa negara Asia yang merdeka di PBB pada 1947 pada Palestina. Pada 1955, propaganda Barat dan Israel yang menyatakan negara Yahudi adalah reparasi adil dari Eropa untuk Holocaust berhasil menyusup ke sejumlah negara Asia dan Afrika yang merdeka.

Keberhasilan propaganda ini adalah negara-negara tersebut kini mendukung persamaan hak antara penduduk asli Palestina dan penjajah Yahudi mereka menyamakan antara penjajah dan yang dijajah. Tidak ada negara jajahan pemukim kulit putih di Afrika yang bisa lolos dari kecaman seperti yang dilakukan Israel pada tahun-tahun itu.

Komunike akhir yang dikeluarkan Konferensi Bandung mencakup kecaman terhadap kolonialisme pemukim Eropa dan penolakan terhadap penentuan nasib sendiri serta dukungan terhadap hak-hak rakyat Aljazair, Maroko, dan Tunisia untuk merdeka dan menentukan nasib sendiri.

Sedangkan untuk rakyat Palestina, komunike tersebut menyatakan "dukungannya terhadap rakyat Arab Palestina dan menyerukan implementasi Resolusi PBB tentang Palestina dan pencapaian penyelesaian damai atas masalah Palestina".

Ini bukanlah seruan yang radikal, namun lebih sesuai dengan bahasa yang digunakan oleh para delegasi. Sebagai contoh, konferensi ini juga menyampaikan simpati dan dukungannya yang hangat terhadap sikap berani yang diambil oleh para korban diskriminasi rasial, terutama oleh orang-orang Afrika, India, dan Pakistan di Afrika Selatan.

Memang, tidak ada penyebutan mengenai koloni-koloni pemukim lainnya di Afrika, baik Portugis (Angola dan Mozambik), maupun Inggris (Kenya, Rhodesia, Sierra Leone, Afrika Timur), bahkan tidak ada penyebutan mengenai apa yang terjadi di Liberia, salah satu peserta konferensi.

Namun, Bandung merupakan momen penting dalam membangun aliansi di antara negara-negara Asia dan Afrika yang menentang kebijakan imperialisme, yang terus diupayakan oleh Amerika Serikat dan Eropa Barat.

Sementara ancaman, tekanan, dan intrik imperialis merusak aliansi tersebut selama beberapa dekade berikutnya, jatuhnya Soviet dan Blok Timur memberikan anugerah bagi anti-imperialisme.

Namun, dalam dua dekade terakhir, blok-blok suara anti-imperialisme yang perlahan namun pasti kembali bangkit di PBB. Manifestasi terbarunya adalah menolak keras dukungan AS dan Eropa terhadap genosida Israel di Gaza.

Tampaknya, sekeras apapun upaya AS dan Eropa, tidak ada ancaman atau tekanan yang dapat menghentikan gelombang solidaritas anti-kolonial terhadap rakyat Palestina. 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement