REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Presiden Amerika Serikat, Joe Biden menulis surat kepada para pemimpin Mesir dan Qatar untuk meminta mereka menekan Hamas agar melakukan kesepakatan penyanderaan dengan Israel.
Dilansir dari APNews, surat – surat tersebut ditujukan kepada Presiden Mesir Abdel Fattah dan emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani muncul ketika Joe Biden telah mengirim Direktur CIA William Burns ke Kairo untuk melakukan pembicaraan mengenai krisis penyanderaan.
David Barnea, Kepala Mossad, agen mata-mata Israel, dan perwakilan dari Mesir dan Qatar diperkirakan akan hadir. Perundingan ini bersifat tidak langsung atas usulan yang disampaikan melalui pihak ketiga kepada para pemimpin Hamas yang berlindung di terowongan di bawah Gaza.
Upaya pertemuan tersebut adalah upaya untuk merundingkan jeda pertempuran antara Israel dan Hamas untuk memfasilitasi pertukaran sandera yang ditahan di Gaza dengan tahanan Palestina yang ditahan di Israel. Itu adalah satu-satunya cara untuk menerapkan gencatan senjata sementara dan meningkatkan aliran bantuan kemanusiaan ke negara-negara tersebut.
Juru bicara Keamanan Nasional Gedung Putih, John Kirby mengatakan bahwa Joe Biden menggarisbawahi perlunya mencapai kesepakatan penyanderaan selama percakapan dengan Netanyahu yang sebagian besar berfokus pada serangan udara Israel yang menewaskan tujuh pekerja bantuan di World Central Kitchen.
“Kami akan memasuki enam bulan dimana orang-orang ini disandera dan apa yang harus kita pertimbangkan hanyalah kondisi yang mengerikan di mana para sandera ditahan. Mereka harus berada di rumah bersama keluarga mereka,” kata John Kirby.
Joe Biden telah menyatakan optimismenya terhadap gencatan senjata sementara dan kesepakatan penyanderaan menjelang bulan suci Ramadhan, namun kesepakatan tersebut tidak dapat terwujud.
Kampanye militer Israel di Gaza, menurut para ahli, adalah salah satu yang paling mematikan dan paling merusak dalam sejarah. Dalam waktu dua bulan, para peneliti mengatakan, serangan tersebut telah menimbulkan lebih banyak kerusakan daripada penghancuran Aleppo di Suriah antara tahun 2012 dan 2016, Mariupol di Ukraina, bahkan lebih parah daripada pemboman Sekutu terhadap Jerman pada Perang Dunia II.