REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU----Setiap arus mudik dan balik lebaran berlangsung, jalur pantura Indramayu menjadi salah satu ruas jalan teramai di Indonesia. Karena, menjadi penghubung antara Jakarta dan Jawa Tengah, sehingga jalur pantura Indramayu dilintasi ribuan kendaraan setiap harinya, baik sepeda motor roda dua maupun kendaraan roda empat.
Untuk menjaga kelancaran arus kendaraan sekaligus mencegah kecelakaan, polisi pun menutup banyak u turn atau putaran arah di jalur pantura. Hanya ada beberapa yang disisakan tetap terbuka.
Kondisi itu, menyulitkan warga lokal yang beraktivitas sehari-hari karena mereka harus memutar di u turn yang cukup jauh jaraknya. Selain itu, mereka juga merasa ngeri untuk menyeberang jalan. Pasalnya, para pemudik yang melintasi jalur pantura biasanya memacu kendaraan mereka dengan kecepatan tinggi.
Melihat kondisi tersebut, salah satu tokoh masyarakat di Desa Legok, Kecamatan Lohbener, Kabupaten Indramayu, Kaso (60) bersama sejumlah warga lainnya berinisiatif membuat jalan penyeberangan alternatif lewat kolong jembatan.
Hal itu sudah lama mereka lakukan, bahkan sejak sebelum beroperasinya Tol Cipali. Saat Tol Cipali belum beroperasi, jalur pantura Indramayu menjadi jalan utama seluruh kendaraan pemudik dari arah Jakarta menuju arah Jawa, begitu pula sebaliknya.
Warga lokal akhirnya sama sekali tidak bisa menyeberangi jalur Pantura. Pasalnya, jalur tersebut saat itu sangat padat.
Kaso dan warga lainnya pun bergotong royong menata kolong jembatan di desa setempat agar aman dan nyaman untuk dilintasi kendaraan, terutama sepeda motor. Mereka pun membuat akses jalan dengan menggunakan pagar anyaman bambu dari sisi jalur pantura turun ke bawah jembatan.
Melalui kolong jembatan itulah, warga lokal bisa menyeberangi jalur pantura dengan lebih mudah dan aman, tanpa harus memutar jauh. Untuk menikmati fasilitas tersebut, pengendara pun tidak dipatok biaya. Mereka boleh membayar seikhlasnya.
‘’Ya seikhlasnya saja. Kita tidak mematok tarif. Kadang ada yang ngasih Rp 1.000, Rp 500, Rp 5 ribu, Rp 10 ribu, bahkan ada juga yang tidak bayar karena katanya tidak punya uang. Ya tidak apa-apa,’’ kata Kaso, kepada Republika belum lama ini.
Tak hanya fasilitas jalan pintas, warga yang berjaga pun berusaha memastikan keamanan pengendara yang melintasi kolong jembatan itu. Karenanya, ada 24 warga yang menjadi relawan menjaga kolong jembatan tersebut secara bergantian selama 24 jam.
Warga harus rutin menyedot air yang ada di bawah jembatan. Dengan demikian, kolong jembatan tetap aman dari genangan air dan bisa dilalui pengendara. Meski tidak mematok tarif, namun penghasilan yang diperoleh para relawan cukup besar. Dalam sehari, mereka bsai mengumpulkan uang sekitar Rp 1 juta dari para pengendara yang melintas.
Uang tersebut kemudian digunakan untuk perbaikan sarana dan prasarana kolong jembatan. Selain itu, digunakan untuk konsumsi penjaga dan sisanya dibagi rata. ‘’Ya Alhamdulillah, bisa buat lebaran,’’ katanya.
Selain di Desa Legok, kolong jembatanyang disulap menjadi jalan penyeberangan alternatif saat arus mudik dan balik lebaran juga dibuat oleh warga Desa Larangan, Kecamatan Lohbener.
Sementara itu, salah seorang warga Kecamatan Indramayu, Dika (35), mengaku sangat terbantu dengan adanya jalan penyeberangan alternatif di kolong jembatan tersebut. Dengan adanya kolong jembatan itu, Dika tidak perlu memutar jalan yang jauh saat hendak menuju tempat kerjanya yang ada di Kecamatan Patrol, Kabupaten Indramayu. ‘’Bisa memperpendek jarak dan menghemat waktu,’’ kats Dika.