REPUBLIKA.CO.ID, Topik tentang kebebasan pers dan kebebasan berbicara kerap muncul ketika membahas negara Cina. Meski menganut sistem pemerintahan komunis, Cina mengklaim bahwa mereka telah menjalankan demokrasi dengan karakteristiknya sendiri.
Pada Ahad (7/4/2024), saya sempat mengikuti kuliah bertajuk “From Professional Generated Content (PGC) to Artificial Intelligence Generated Content (AIGC): Technology-driven Content Production Evolution in Chinese Media Sector and Its Social Influences”. Kuliah itu digelar oleh tim panitia program China International Press Center (CIPC) 2024 untuk para jurnalis peserta dari berbagai negara. Saya menjadi satu-satunya jurnalis Indonesia yang berkesempatan mengikuti program CIPC 2024 gelombang pertama.
Tujuan penyelenggaraan kelas tersebut adalah untuk memberi gambaran dan informasi kepada para jurnalis peserta program CIPC 2024 tentang perkembangan media di Cina pada era digital. Profesor Di Zhang dari School of Journalism and Communication di Renmin University of China dihadirkan sebagai pemateri. Selain akademisi, Zhang juga pernah menjadi reporter di China Daily dan China Central Television (CCTV).
Pada awal presentasinya, Zhang menjelaskan tentang media yang dikendalikan negara atau state-controlled media. Dia mengakui, secara historis, media-media di Cina dikendalikan oleh negara. CCTV, Xinhua News Agency, dan People’s Daily adalah beberapa contoh media pemerintah yang disinggung Zhang dalam pemaparannya. Menurut dia, media-media pemerintah tersebut kini lebih powerful dibanding sebelumnya.
Zhang juga sempat menjelaskan tentang kemunculan media-media swasta di Cina yang dimulai selepas tahun 1979. Namun dia mengatakan, banyak media swasta di negaranya terpaksa gulung tikar karena beberapa faktor, terutama ketidakmampuan mereka melakukan transformasi.
Zhang pun menerangkan bagaimana media-media di negaranya, termasuk media yang dikontrol pemerintah, mulai memanfaatkan kecerdasan artifisial dalam proses produksi konten atau berita. Di sela-sela pemaparannya, satu per satu jurnalis mulai bertanya tentang cara kerja media dan bagaimana hubungan publik dengan media di Cina.
Salah satu jurnalis dari negara Afrika bertanya kepada Zhang tentang apakah media-media milik negara akan menampilkan atau memberi ruang untuk opini yang berseberangan dengan pemerintah. Dengan agak ragu, Zhang menjawab, “Hanya sebagian opini yang bertentangan akan muncul di media pemerintah”.
Para jurnalis peserta CIPC menantikan jawaban lebih detail dari Zhang. Namun dia tak memberi penjelasan lebih lanjut mengenai hal itu. Jurnalis lainnya sempat bertanya pula kepada Zhang tentang apakah ada perbedaan tentang kebebasan berbicara di Cina dengan negara lain.
Sebelum menjawab, Zhang mengambil botol air mineralnya terlebih dulu, kemudian mereguknya. “Ya, tentu berbeda,” ujar Zhang singkat sambil menutup botol minumnya. “Seberapa berbeda?” sahut jurnalis lainnya menanggapi jawaban Zhang. “Bagaimana Anda mau saya mengatakannya?” kata Zhang dengan senyum yang agak canggung.
Di sepanjang presentasinya, Zhang memang terlihat berusaha keras menjawab pertanyaan terkait kebebasan pers dan kebebasan berbicara. Saya rasa dia sepenuhnya menyadari bahwa meski saat ini ada banyak media beroperasi di Cina, gerak dan tindak tanduk pers di Negeri Tirai Bambu tak bisa benar-benar disamakan dengan yang berlangsung di negara-negara demokrasi.
Pada 13 Maret 2024, tim panitia CIPC juga pernah menyelenggarakan kuliah bertajuk “From Chinese Modernzation to Global Modernization for All” untuk para jurnalis peserta. Profesor Wang Yiwei dari Renmin University of China dihadirkan sebagai pemateri. Wang juga menjabat sebagai direktur Institute of International Affairs.
Kepada jurnalis peserta CIPC, Wang menjelaskan kenapa negaranya tidak menggunakan platform seperti Google, Facebook, dan Twitter. Dia mengatakan, jika platform tersebut ingin bisa digunakan di Cina, maka mereka perlu tunduk pada peraturan dan konstitusi Cina.
Wang menggunakan istilah “Chinalize” untuk merujuk pada proses tersebut. “Itu sebabnya Cina mempunyai Google-nya sendiri, yaitu Baidu, dan mempunyai Twitter serta Facebook-nya sendiri, yakni WeChat,” ujarnya.
Wang menekankan, Cina belajar dari Barat. Kendati demikian, segala sesuatu yang diperoleh, dikonversi dan dimodifikasi sesuai dengan “karakteristik” Cina.
Pengalaman Meliput Konferensi Pers
Awal bulan lalu, tim panitia CIPC mengajak para jurnalis peserta untuk meliput rangkaian kegiatan Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Cina (CPPCC) dan Kongres Rakyat Nasional (NPC) ke-14 yang digelar di Balai Rakyat Agung, Beijing. Tim panitia juga mengajak para jurnalis meliput dua konferensi pers di sela-sela perhelatan agenda yang dikenal dengan istilah “Two Session” tersebut.
Konferensi pers pertama terkait perkembangan ekonomi Cina. Konferensi pers ini dihadiri Menteri Keuangan Lan Fo’an, Menteri Perdagangan Wang Wentao, dan Gubernur Bank Rakyat Cina Pan Gongsheng. Sementara konferensi pers kedua terkait kebijakan luar negeri. Dalam konferensi pers tersebut, Menteri Luar Negeri (Menlu) Cina Wang Yi hadir dengan didampingi Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Hua Chunying.
Dalam dua konferensi pers terkait, saya menyaksikan banyak jurnalis lokal Cina. Terdapat pula koresponden-koresponden media asing. Semua jurnalis yang hadir dalam konferensi pers, termasuk peserta program CIPC, boleh mengajukan pertanyaan kepada para narasumber.
Saat mengikuti konferensi pers Menlu Wang Yi, saya beberapa kali mengangkat tangan untuk mengajukan pertanyaan. Namun saya gagal dipilih oleh moderator. Sepengamatan saya, tak ada jurnalis peserta CIPC yang terpilih untuk bertanya dalam dua konferensi pers di sela-sela Two Session.
Kebanyakan jurnalis yang terpilih untuk mengajukan pertanyaan adalah jurnalis lokal, termasuk jurnalis dari media pemerintah Cina seperti Xinhua dan CCTV. Menurut saya, pertanyaan mereka pun tak ada yang bersifat “mengkritisi” kebijakan-kebijakan pemerintah. Normatif saja.
Di luar itu, sejujurnya ada perasaan agak aneh saat saya menghadiri dua konferensi pers yang digelar di sela-sela Two Session. Sebab semua pertanyaan jurnalis, termasuk beberapa pertanyaan koresponden media asing, dijawab oleh para pejabat Cina terkait dengan membaca tablet atau dokumen yang telah mereka persiapkan.
Beberapa jurnalis peserta program CIPC bercerita kepada saya bahwa mereka cukup bosan ketika harus mengikuti kedua konferensi pers tersebut. Mereka menilai, keduanya seperti pengarahan (briefing) dan “promosi” kebijakan saja.