REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bos Bank AS JPMorgan Chase Jamie Dimon memperingatkan risiko perekonomian global akan menjadi momen paling berbahaya sejak perang dunia II. Menurutnya, ancaman terbesar pasar keuangan global sangat membahayakan nyawa dan pertumbuhan ekonomi.
Dalam suratnya kepada investor, Jamie Dimon mengatakan, sebenarnya kondisi perekonomian global sudah berada di jalur yang kuat dan aman dalam beberapa tahun terakhir. Namun, kemunduran yang sangat besar terjadi setelah Rusia menginvasi Ukraina pada Februari 2022.
“Ketika peristiwa buruk terjadi, kita cenderung melebih-lebihkan dampaknya terhadap perekonomian global. Akan tetapi, peristiwa-peristiwa yang terjadi baru-baru ini mungkin saja menciptakan risiko-risiko yang dapat melampaui apa pun yang terjadi sejak Perang Dunia II, kita tidak boleh menganggap enteng risiko-risiko tersebut," tegasnya dikutip dari The Guardian, Selasa (9/4/2024).
Namun, Jamie Dimon justru tidak menyinggung soal serangan Israel ke Gaza dalam beberapa bulan terakhir. Ia justru cenderung membela Israel dengan mengatakan Israel lah yang mendapatkan serangan keji.
Dalam suratnya tersebut, Jamie Dimon juga memperingatkan bahwa gangguan dalam hubungan internasional “mungkin tidak akan berdampak pada perekonomian dunia atau berpotensi menjadi faktor penentunya".
“Perang yang sedang berlangsung di Ukraina dan Timur Tengah bisa menjadi jauh lebih buruk dan menyebar dengan cara yang tidak dapat diprediksi," ujarnya.
Saat ini, senjata nuklir masih menjadi momok yang paling menakutkan dan menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia. Dimon pun mengingatkan, bahwa lonjakan belanja pemerintah tak hanya terkait dengan belanja militer namun juga rencana transisi iklim, biaya layanan kesehatan, dan pergeseran rantai pasokan global.
"Semua hal tadi dapat menyebabkan “inflasi yang lebih tinggi dan tingkat inflasi yang lebih tinggi dari perkiraan pasar”, ungkapnya.
JP Morgan, lanjutnya, sudah memiliki rencana darurat agar suku bunga AS yang kini berada pada kisaran 5,25 persen hingga 5,5 persen akan naik lebih tinggi dari 8 persen atau turun serendah 2 persen. Pada Desember lalu, Lembaga Dana Moneter Internasional (IMF) mengatakan perekonomian global berada di ambang perang dingin kedua yang dapat “menghancurkan” kemajuan yang dicapai sejak runtuhnya Uni Soviet.
Wakil Direktur Pelaksana I IMF Gita Gopinath mengatakan, pada momen tersebut dunia berada pada “titik balik”, AS dan Cina berisiko besar kehilangan triliunan dolar output global.
“Jika kita terjerumus ke dalam perang dingin kedua, kita bisa melihat hilangnya keuntungan dari perdagangan terbuka,” katanya.
Sebelumnya, IMF memperingatkan bank sentral paling kuat di dunia agar tidak mempertahankan suku bunga tinggi terlalu lama. IMF juga mengatakan Bank of England harus berhati-hati dalam mempertahankan biaya pinjaman yang tinggi saat ini.