REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, KH Abdul Muiz Ali menjelaskan tentang esensi halal bi halal yang dipraktikkan umat Islam di momen Hari Raya Idul Fitri. Dalam tradisi halal bi halal ini, umat Islam biasanya akan saling bermaaf-maafan dan berjabat tangan.
Kiai Muiz menuturkan, orang yang telah menjalankan ibadah puasa Ramadhan akan diampuni kesalahan dan dosanya oleh Allah. Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam (SAW) bersabda:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, dengan keimanan dan mengharapkan pahala dari Allah, maka dosa masa lalunya akan diampuni .” (HR Bukhari)
Kiai Muiz mengatakan, kesalahan atau dosa kepada Allah SWT (haqqullah) dapat dimaafkan dengan istighfar dan memperbanyak amal ibadah. Sedangkan kesalahan sesama manusia (haqqu al-adami), Allah SWT dapat mengampuninya jika antara sesama manusia yang melakukan kesalahan sudah saling memaafkan.
"Di sini sebenarnya halal bihalal itu menjadi penting bahkan harus dilakukan," kata Kiai Muiz melalui keterangan tertulis yang dikirimkan kepada Republika//, Kamis (11/4/2024).
Alumni Pondok Pesantren Sidogiri ini menjelaskan, saling memaafkan dapat dilakukan kapan saja termasuk pada saat momentum Idul Fitri. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
خُذِ الْعَفْوَ وَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الجَاهِلِيْن
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang makruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh.” (QS Al A’raf ayat 199)
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ، فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ اليَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ، إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ، وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Barangsiapa memiliki kesalahan terhadap saudaranya, baik moril maupun materil, segeralah meminta kehalalannya hari itu juga, sebelum sampai pada hari tiada dinar dan dirham. Jika hal tersebut terjadi, bila dia memiliki amal baik, amal tersebut akan diambil sesuai kadar kesalahannya."
Namun, menurut Kiai Muiz, jika dia sudah tidak memiliki kebaikan, maka ia akan ditimpakan kesalahan dari saudara yang dia salahi.” (HR Bukhari).
Kiai Muiz melanjutkan, momentum halal bihalal dapat diartikan sebagai penyelesaian masalah, meluruskan benang kusut, mencairkan yang beku dan mengurai ikatan yang membelenggu.
Halal bihalal, sebagaimana diartikan Prof Quraish Shihab dalam karyanya "Membumikan Al-Qur’an (1999)", juga bisa bermakna menyambung sesuatu yang tadinya putus menjadi terikat kembali (silaturahim).
Dalam hadits disebutkan,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa ingin lapangkan pintu rizqi untuknya dan dipanjangkan umurnya hendaknya ia menyambung tali silaturahmi.” (HR Bukhari).
Tradisi halal bihalal sebagaimana jamak dipraktikkan masyarakat Indonesia setelah Idul Fitri, mereka saling bermaaf-maafan dibuktikan dengan saling bersalaman sambil mengucapkan mohon maaf lahir dan batin.
Rasulullah SAW bersabda:
مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا
“Tidaklah dua orang muslim saling bertemu kemudian berjabat tangan, kecuali akan diampuni (dosa-dosa) mereka berdua sebelum mereka berpisah.” (HR Abu Dawud dan At Tirmidzi).
Kiai Muiz menceritakan, Rasulullah SAW pernah melakukan untuk saling ‘menghalalkan’ dan melupakan kesalahan masa lalu seseorang dan kelompok Quraisy di Makkah yang semula memusuhi dan menentang dakwah Rasulullah ketika di Makkah. Peristiwa ini dalam sejarah disebut dengan Fathu Makkah.
Lihat halaman berikutnya >>>