Sabtu 13 Apr 2024 07:05 WIB

PLTA Bengkok Warisan Sejarah di Hulu Sungai Cikapundung Bandung

Bangunan dengan arsitektur bergaya kolonial ini merupakan salah satu pembangkit pertama yang dibangun Belanda untuk menerangi Kota Bandung.

Rep: udang bago/ Red: Partner
.
Foto: network /udang bago
.

Petugas memeriksa pipa saluran air di<a href= Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok, Bandung, Jawa Barat. (Dok. Republika/Antara" />
Petugas memeriksa pipa saluran air di Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok, Bandung, Jawa Barat. (Dok. Republika/Antara

BANDUNG -- Jika kita melintas di kawasan Dago, Kota Bandung, maka bisa ditemui pemandangan berupa pipa besar yang memanjang berwarna kuning. Pipa yang menjalar dari atas pegunungan di hulu Sungai Cikapundung hingga Cimenyan itu berfungsi mengalirkan air.

Ya, PT (PErsero) Perusahaan Listrik Negara (PLN) memanfaatkan sumber mata air Sungai Cikapundung itu, untuk menggerakan turbin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok yang berada Jl. Sukaremi, Ciumbuleuit, Kecamatan Cidadap, Kota Bandung.

Mulanya, air baku dari Sungai Cikapundung dengan kapasitas sebesar 3,025 meter kubik per detik itu, dibendung dan ditampung di Bendungan Bantarkawi. Dari lokasi ini, aliran air itu kemudian disalurkan melalui pipa hingga ke sebuah bangunan tua peninggalan Belanda di daerah Ciumbuleuit.

Bangunan dengan arsitektur bergaya kolonial ini merupakan salah satu pembangkit pertama yang dibangun Belanda untuk menerangi Kota Bandung. Dari luar, bangunan tersebut tampak seperti rumah-rumah pembesar Belanda zaman dulu, dengan pintu dan daun jendela tinggi, serta tembok berlapis batu bercat hitam.

"Bandung zaman Belanda dijuluki Kota Paris van Java yang gemerlap saat malam. Listriknya ya dari sini pertama kali," kata Supervisor Operasi dan Pemeliharaan PLTA Bengkok Sub Unit UP Saguling, Rochmat, ditemui di Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok, Jumat (29/11).

Bandung pada akhir abad ke-19 masih jadi kota yang gelap gulita pada malam harinya. Hanya gedung pemerintah dan rumah-rumah milik warga Eropa yang sudah menggunakan penerangan terbatas dari lampu gas yang kala itu disalurkan dari Kiaracondong.

Seiring berkembangnya listrik dari pembangkit air, pemerintahan Kolonial Belanda mulai membangun PLTA. Hal itu dilakukan Belanda dengan membangun PLTA Pakar atau Waterkracht Werk Pakar aan de Tjikapoendoeng Nabji Dago pada tahun 1906. Namun lantaran kapasitasnya terlalu kecil, PLTA Pakar dibongkar dan dibuat pembangkit baru yang lebih besar, yakni Centrale Bengkok atau PLTA Bengkok pada 1923.

Tiga turbin generator buatan General Electric PLTA Bengkok bergantian beroperasi setiap harinya dengan masing-masing berkapasitas 1.05 MW (3x1.05 MW). Air baku dari sebesar 3,025 meter kubik per detik berasal dari Kali Cikapundung yang dibendung dan ditampung di Bendungan Bantarkawi.

Air dari bendungan ini kemudian disalurkan ke kolam pengendap, sebelum kemudian masuk ke kolam tampung berkapasitas 30 ribu meter kubik. Dari kolam tandon harian ini, air dialirkan lewat pipa pesat sepanjang 870 meter dari ketinggian lereng 102 meter ke 3 turbin di dalam rumah tua yang dijadikan power house. Pipa pesat ini dikenal warga sekitar sebagai pipa raksasa.

"Air yang dibendung di Kali Cikampundung kita gunakan untuk menggerakan turbin secara bergantian. Kalau tiga turbin beroperasi sekaligus, airnya tidak cukup karena sedang musim kemarau. Semakin banyak air yang masuk, semakin lama operasi turbinnya," jelas Rochmat.


Petugas memeriksa mesin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok, Bandung, Jawa Barat. (Dok. Republika/Antara)
Petugas memeriksa mesin Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok, Bandung, Jawa Barat. (Dok. Republika/Antara)

Air limpahan dari PLTA Bengkok ini mengalir ke hilir dan dimanfaatkan kembali untuk PLTA Dago yang berjarak sekitar 2 kilometer dari Bengkok. PLTA Dago sendiri hanya memiliki satu turbin, dengan kapasitas daya 1x700 Kw.

Menurut Rochmat, PLTA ini masih berfungsi dengan sangat baik meski sudah beroperasi sejak tahun 1923. Selain itu, bangunan, turbin, inlet valve, trafo, hingga mesin kontrol masih sama seperti aslinya dan tetap dipertahankan. Hanya bagian kecil dari generator yang diperbaharui dengan komponen lokal.

"Karena ini warisan budaya, kita pertahankan sesuai dengan aslinya. Tidak kita ubah sama sekali, semua masih eksis sejak awal mula dibangun. PLTA ini masih baik beroperasi, karena kita lakukan perawatan rutin bulanan dan 3 bulanan. Jadi PLTA Bengkok ini jadi warisan sejarah terkait pengelolaan PLTA pertama di Indonesia," ungkapnya.

Lantaran masuk kategori micro hydro, listrik yang dihasilkan dari PLTA Bengkok ini dialirkan ke transmisi listrik tegangan menengah 20 KV dan hanya melistriki area lokal di Bandung.

"Dulu, listrik dari Bengkok ini menyuplai sampai Malabar, Dayeuhkolot, dan Pangalengan. Selain gedung-gedung pemerintah Belanda, listrik terutama dipakai untuk stasiun-stasiun radio. Di Gunung Puntang itu ada stasiun radio yang menghubungkan Bandung dengan Den Haag, listriknya ya dari sini," tutur Rochman.

Sejak tanggal 1945, pembangkit ini diambil alih oleh pemerintah Indonesia. Saat ini PLTA Bengkok, merupakan salah satu pembangkit Unit Bisnis Pembangkitan (UBP) Saguling, PT Indonesia Power, anak usaha PLN.

Seriring semakin besarnya kebutuhan listrik Bandung, PLTA Bengkok hanya sebagai penyuplai listrik pendukung untuk Kota Bandung yang listriknya dipasok dari suplai Transmisi Jawa Bali. n Agus Yulianto

sumber : https://matapantura.republika.co.id/posts/301146/plta-bengkok-warisan-sejarah-di-hulu-sungai-cikapundung-bandung
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement