REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kondisi perekonomian global saat ini mengindikasikan ketidakpastian yang masih tinggi. Adanya kemungkinan perang antara Israel dan Iran yang sudah membuat menguatnya harga minyak mentah pada Jumat (12/4/2024) kemarin.
"Risiko di pasar keuangan masih cukup tinggi karena proyeksi awal dimana suku bunga turun. Geopolitik lebih baik dibanding tahun lalu nampaknya semakin jauh dari harapan," kata Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira kepada Republika, Sabtu (13/4/2024).
Bhima mengatakan, turbulensi ekonomi probabilitasnya makin besar khususnya negara berkembang di kawasan ASEAN. Ketergantungan ekspor impor ke Cina di tengah berlanjutnya pelambatan ekonomi domestik Cina juga menimbulkan kekhawatiran rendahnya kinerja ekspor Indonesia tahun ini.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa berada dibawah level 4,8 persen dengan motor utama konsumsi rumah tangga dibayangi risiko inflasi bahan makanan," ungkapnya.
Harga minyak yang naik juga memicu adanya risiko fiskal dan berimbas ke harga energi naik. Semseter II 2024 adalah momen dimana harga pangan yang masih tinggi bertemu dengan penyesuaian harga energi terutama non subsidi.
"Jadi ekonomi harus sedia payung sebelum hujan. Pertebal bantalan fiskal bukan hanya bansos ke orang miskin tapi juga insentif ke kelas menengah rentan. Berbagai kebijakan harus akomodatif jangan ada PPN naik, arahkan insentif perpajakan ke UMKM hingga turunkan pajak penghasilan lapisan dibawah 10 juta per bulan," tegas Bhima.
Sebelumnya, Chief Economist PermataBank Josua Pardede mengatakan, perkembangan kondisi suku bunga global yang cenderung divergent membuat sentimen risk-off di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, kembali meningkat. Hal ini terlihat terutama pada pasar obligasi Indonesia yang sudah mencatatkan net outflow secara year-to-date.
"Banyak investor dan traders cenderung kembali memindahkan portofolionya ke safe-haven assets sehingga memicu capital outflow dari pasar keuangan negara berkembang dan mendorong pelemahan mata uang Asia termasuk Rupiah," ujarnya dalam keterangan yang diterima Republika.co.id dikutip Selasa (9/4/2024).
Indonesia juga dihadapkan dengan risiko kembalinya twin deficit atau kondisi di mana ekonomi mencatatkan pelebaran defisit neraca transaksi berjalan dan defisit fiskal. Data terakhir menunjukkan bahwa surplus neraca dagang Indonesia terus menyusut, sejalan dengan berlanjutnya normalisasi harga komoditas dan kondisi ekonomi Cina, mitra dagang utama Indonesia, yang cenderung terus melemah.
"Hal ini meningkatkan risiko pelebaran defisit pada neraca transaksi berjalan pada tahun ini," kata Josua.