REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dokter spesialis jiwa dari Rumah Sakit Fatmawati, dr. Ika Sri Nurtantri, mengatakan, kesehatan mental seseorang dapat mempengaruhi proses penyembuhan kanker. Karena apabila kondisi mentalnya menurun maka daya tahan tubuh juga akan turut turun.
"Sementara pada saat seseorang mengalami gangguan kanker, tentunya juga perlu ada pertahanan tubuh untuk melawan kankernya itu. Kalau imunitasnya juga menurun, tentunya ini sangat berpengaruh proses penyembuhan kankernya," ujar Ika dalam dialog yang disiarkan Kementerian Kesehatan di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, setiap pasien kanker memiliki kondisi-kondisi mental yang berbeda. Apabila kondisi kesehatannya sangat parah hingga mengganggu fungsi normal atau aktivitasnya, maka perlu mendapatkan penanganan profesional.
Menurut WHO, ujarnya, sehat mental adalah situasi di mana individu menyadari kemampuan yang dimilikinya, mampu mengatasi tekanan kehidupan secara normal, dapat bekerja secara produktif, serta mampu berkontribusi bagi komunitasnya.
Dia menjelaskan, penyintas kanker juga dapat mengalami gangguan kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan, karena trauma dan takut akan pengalaman pengobatannya. Adapun yang mereka takutkan seperti kemunculan kembali kanker tersebut, kemudian harus menjalani proses terapi kembali, padahal proses terapi kanker bukan hal yang mudah. Hal tersebut dapat mempengaruhi kualitas hidup para penyintas kanker.
Dia menuturkan, ada sejumlah fase ketika seseorang mengetahui mereka mengidap kanker. Yang pertama adalah menyangkal atau denial karena merasa tidak seharusnya mereka sakit karena pola hidupnya sudah benar dan sehat.
Kemudian fase menawar atau bargaining, di mana mereka mencoba untuk mengobati diri sendiri dan memperbaiki pola hidup. Ika menyebut, dalam fase menawar itu sendiri terkadang ada yang harapan sembuhnya terpenuhi, ada juga yang tidak.
Ketika mereka tidak mendapatkan apa yang diharapkan, seperti sudah terapi lama tapi tidak membuahkan hasil, mereka kemudian marah, atau disebut sebagai fase anger. Di sini pasien mulai menyalahkan orang lain, seperti dokter, lingkungannya, dan lain-lain. Menurutnya, apabila hal tersebut berkepanjangan, dapat memperburuk kondisi kanker.
"Tapi pada saat dia bisa melewati fase-fase itu, akhirnya mulai muncul aspek acceptance, mulai bisa terima. Biasanya kalau sudah lebih panjang, sudah dijalankan, ternyata enggak seburuk yang dipikirkan kok, ternyata masih oke kok, walaupun saya mengalami kanker," ujarnya.
Menurut dia, yang terpenting adalah memaknai proses penyembuhan tersebut dengan baik, dengan cara melihatnya melalui sudut pandang yang positif. Proses penyembuhan tersebut pun perlu dilalui dengan niat untuk berjuang.
Sebagai contoh, katanya, ketika pasien tersebut masih sehat, dia sangat sibuk sehingga tidak ada waktu bersama keluarga. Namun ketika sakit, justru dapat merasa senang karena bisa berkumpul bersama keluarga.
Selain itu, Ika menuturkan, yang juga penting adalah menjalani aktivitas spiritual. Dia menilai, dengan membangun hubungan dengan alam semesta, pasien akan punya kemauan hidup yang lebih. Menurut dokter itu, keajaiban-keajaiban juga terkadang muncul dari relasi dengan semesta itu.
"Jadi kita berharap boleh. Justru harapan itu yang membuat seseorang jadi lebih bisa bertahan dalam menghadapi semua kesulitan-kesulitan di dalam hidupnya," katanya.
Ia menyebut bahwa keluarga serta orang sekitar dapat turut meningkatkan mental para pasien dan penyintas kanker, melalui empati serta dukungan agar dia dapat melakukan berbagai aktivitas yang disenangi. Dia menilai hal tersebut akan membuat pasien atau penyintas tetap dapat berpikiran positif serta produktif.