REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Warga Iran khawatir dengan kemungkinan serangan balasan Israel atas serangan drone dan rudal Iran akhir pekan lalu. Pemimpin politik dan militer Iran berkali-kali memperingatkan mereka akan merespons setiap serangan balasan Israel dengan meningkatkan ketegangan lebih lanjut.
"Tekanan ekonomi akan menggunung, keselamatan kami akan terancam, kami harus menghindari konflik dengan cara apa pun, saya tidak ingin berperang, bagaimana saya bisa melindungi dua anak saya? Tidak akan ada tempat yang aman," kata Hesam seorang guru di Kota Amol, Senin (15/4/2024).
Seorang ibu rumah tangga Parvaneh mengatakan, serangan Israel dapat menjadi pukulan terakhir bagi ekonomi yang kian melemah karena sanksi-sanksi, salah kelola dan korupsi selama bertahun-tahun. "Kami rakyat Iran sudah cukup bertahan selama bertahun-tahun. Perang hanya membawa bencana. Suami saya pekerja pabrik. Kami bahkan tidak memiliki cukup uang untuk membeli bahan pokok apalagi menimbunnya," kata ibu dua anak itu di Kota Yazd.
Warga kelas menengah dan bawah Iran menanggung beban ekonomi. Dengan inflasi di atas 50 persen, kenaikan tarif utilitas, pangan dan perumahan sementara mata uang Rial turun tajam. Ada rasa bangga campur ketakutan dengan serangan balasan Iran pada kantor konsulatnya di Suriah pada 1 April lalu.
"Saya sangat bangga dengan serangan ke Israel. Mereka yang memulainya. Kami harus membalas. Israel tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka tahu Iran sangat kuat," kata seorang pegawai pemerintah Hossein Sabahi di Kota Tabriz.
Tidak lama setelah serangan Iran ke Israel stasiun televisi Pemerintah Iran menyiarkan sejumlah unjuk rasa di beberapa kota untuk mendukung Teheran. Sejumlah orang terlihat meneriakkan slogan "Kematian untuk Israel" dan "Kematian untuk Amerika."
Namun pasar menunjukkan realitas ekonomi keras dibalik dukungan itu. Kemungkinan perang menghantam nilai mata uang. Menurut Bonbast.com, Rial sempat turun drastis ke titik terendah menjadi 705 ribu per dolar AS.
"Masyarakat membeli mata uang keras sejak Ahad. Terdapat peningkatan pada bisnis saya karena ketakutan pada perang," kata seorang pengusaha di Teheran.
Penguasa Iran mungkin juga memiliki sesuatu yang perlu dikhawatirkan. Media Pemerintah Iran melaporkan pada Ahad lalu unit intelijen Garda Revolusi Iran mengeluarkan pernyataan mengejutkan yang memperingatkan agar tidak ada unggahan pro-Israel dari para pengguna media sosial Iran.
Beberapa oposisi pemerintah ulama baik di dalam maupun di luar Iran, menyuarakan dukungan mereka terhadap Israel. "Banyak orang yang frustrasi karena kesengsaraan ekonomi dan pembatasan sosial, serangan Israel dapat melepaskan kemarahan mereka yang terpendam dan menghidupkan kembali protes, yang merupakan hal terakhir yang kata butuhkan ketika diancam oleh musuh asing," kata seorang mantan pejabat di kubu moderat Iran.
Perasaan cemas semakin meningkat ketika beberapa pemerintah Barat mulai mengevakuasi keluarga para diplomat mereka, mengingatkan warga Iran yang lebih tua akan suasana yang memanas ketika Irak menginvasi pada tahun 1980 atau selama gejolak revolusi 1979.
"Orang asing yang meninggalkan Iran adalah pertanda kami akan diserang oleh Israel, kami akan semakin terisolasi, kami akan semakin sengsara," kata seorang insinyur Mohammad Reza di Teheran, yang seperti yang lainnya tidak mau menyebutkan nama lengkapnya.