REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemimpin Revolusi Islam Iran tahun 1979, Ayatollah Sayyid Ruhollah Musavi Khomeini pernah ditanya jurnalis setelah kembali dari pengasingannya di Prancis ke Iran. Dia ditanya soal bagaimana perasaannya kembali ke Iran setelah seperempat abad. Jawaban Khomeini begitu dingin, "Tidak ada."
Reaksinya terhadap berita kematian putranya Mustafa pada 1977 juga dingin. Saat itu dia menyampaikan, "Kita semua sedang melewatinya. Tuhan telah memberikannya kepada kita dan telah memulihkannya sekarang, Tuan-tuan!"
Peneliti bidang Islam yang mengajar di Universitas Cologne Jerman, Katajun Amirpur mengungkap lebih jauh ihwal Khomeini dan Islam Syiah di Iran jauh ke belakang. Mulai dari abad ke-20 hingga periode berdirinya Islam Syiah pada abad ke-7. Ini dituangkan dalam buku karyanya berjudul Khomeini: Der Revolutionär des Islams Hardcover.
Dijelaskan Amirpur, bahwa poros Islam Syiah adalah Ali bin Abi Thalib, menantu sekaligus sepupu Nabi Muhammad SAW. Hingga kemudian terjadi pembunuhan terhadap Ali.
Situasi menjadi tegang antara kubu Hasan bin Ali dan Muawiyah bin Abu Sufyan. Sebagai upaya menghindari perang saudara dibuat Perjanjian Hasan-Muawiyah.
Berdasarkan perjanjian ini, Hasan menyerahkan kekhalifahan kepada Muawiyah dengan catatan Muawiyah dilarang memilih pengganti dan tidak menjadikan khilafah sebagai pemerintahan warisan. Perjanjian tersebut dilanggar Muawiyah karena dia mengangkat putranya, Yazid, sebagai penggantinya.
Lalu, warga kota Kufah meminta...