Oleh Affan Ramli, Pengajar Pedagogi Kritis dan Alumnus IIUM
Iran bikin kaget. Setelah gedung konsulatnya di Damaskus dibom Israel pada 1 April, akhirnya Iran menepati janjinya menyerang Israel dengan 300 rudal dan drone sebagai balasan. Para pengamat mengira, keputusan ini terlalu berani. Mengapa Iran bisa percaya diri seperti itu?
Pertanyaan ini wajar, jika dibandingkan dengan ketakutan negara-negara Timur Tengah lainnya berhadapan dengan Israel. Negara-negara Arab telah mengalami kekalahan beruntun berperang dengan Israel pada tahun 1948, 1956, 1967, dan 1973. Sejak kekalahan-kekalahan itu, negara-negara Arab mempercayai superiotas Israel dan minder pada kekuatan mereka sendiri.
Itu sebabnya, beberapa negara Arab tetangga Palestina, seperti Mesir dan Yordania memilih Israel sebagai negara sahabat. Belakangan, Israel berhasil memperluas persahabatannya dengan Uni Emirat Arab (UEA), Bahrain, Maroko, dan Sudan. Arab Saudi sendiri tadinya sudah mempersiapkan diri menjalin normalisasi hubungan dengan rezim zionis itu. Menjadi tertunda setelah Israel melakukan genosida di Gaza sejak Oktober tahun lalu.
Campuran ketakutan dan persahabatan beberapa negara Arab dengan Israel punya dampak serius pada Palestina. Negara-negara Islam ini harus menutup mata ketika Israel dari tahun ke tahun memperluas wilayah pemukiman Yahudi, dengan cara mengusir jutaan penduduk Palestina dari tanah mereka. Wilayah Israel bertambah luas beberapa juta hektar dari 1948 dengan mencaplok terus menerus wilayah Palestina.
Lebih tragis lagi, ketakutan negara-negara Arab itu akhirnya memaksa pemerintah Palestina tunduk jinak. Otoritas Palestina dipaksa meninggalkan perjuangan kemerdekaan mereka yang melibatkan senjata. Cukup jalan politik saja, artinya banyak-banyak berkompromi dengan penindasan Israel.
Sejak itu, tidak ada lagi pemerintah di Timur Tengah yang berani adu jotos menantang Israel. Jikapun masih ada serangan bersenjata ke wilayah Israel, hanya melibatkan jaringan milisi-milisi negara Arab. Tidak ada lagi pemerintah yang berani, hanya mereka rakyat jelata yang ideologis. Seperti Hamas di Gaza, Hizbullah di Libanon, Houthi di Yaman, dan Kataib Hizbullah di Irak.
Tersisa, hanya dua negara Arab tetangga Palestina yang masih menolak bersahabat dengan Israel, yaitu Libanon dan Suriah. Pun begitu, kedua negara ini tak cukup berani membalas serangan Israel. Beberapa kali Israel mengirim rudal dan bom ke Suriah dan Libanon. Pemerintah Suriah dan Libanon memilih diam. Tak cukup kuat untuk membalas.
Artinya, terakhir kali Israel diserang oleh militer negara lain itu tahun 1973, dikenal juga sebagai perang Yom Kippur, dimana pemerintah Mesir dan Suriah kompak bersama-sama menyerang Israel. Itu sudah lama sekali, lebih setengah abad lalu.
Dalam 50 tahun terakhir, Israel berhasil menyebarkan propaganda sebagai negara dengan teknologi militer tercanggih, kekuatan tempur dan intelijen terkuat, dan negara dengan sistem keamanan terbaik di seluruh kawasan Timur Tengah (Asia Barat dan Afrika Utara).
Pemimpin politik negara-negara Arab yang berani menyebarkan retorika anti-Israel akan dibuat bernasib tragis, seperti Saddam Husein (Irak), Muammar Khadafi (Libya), dan Omar Bashir (Sudan). Mereka semua diruntuhkan dari tampuk kekuasaan. Nasib Saddam dan Khadafi lebih malang, terbunuh dan dipermalukan.
Kejayaan intelijen dan militer, telah membuat Israel mencak-mencak dan arogan. Ditambah kepercayaan diri karena dilindungi oleh militer Amerika Serikat dan NATO, Israel merasa boleh berbuat sesuka hati. Mereka membantai warga sipil Gaza, menyerang Beirut, ibu kota Libanon, dan rutin menyerang Suriah.
Lalu, kenapa Iran berani menyerang Israel secara militer? Saat negara-negara lain sudah berkompromi dengan kejahatan-kejahatan Israel di kawasan itu, kenapa Iran terlalu percaya diri, tidakkah ini membuka risiko perang dunia ketiga?
Dalam pengamatan saya, kekuatan utama Iran tidak terletak pada kecanggihan teknologi militernya. Secara teknologi militer, Iran masih kalah jauh dari Amerika Serikat, Rusia, dan Cina. Bahkan masih di bawah beberapa negara Eropa anggota NATO seperti Inggris dan Francis.
Andalan utama Iran terletak pada sumberdaya manusia yang mereka miliki. Itu hasil amatan saya terhadap Iran dari dekat, setelah mengunjungi negara itu beberapa kali dan tinggal di sana beberapa bulan. Sumberdaya manusia Iran bisa diuraikan dalam beberapa aspek.
Pertama, Iran memiliki para pemimpin spiritual dari kaum sufis. Bukan hanya Ayatollah Ali Khamenei, semua anggota Majlis Ahli Kepemimpinan mereka berjumlah 88 orang adalah kaum sufi. Dipilih oleh rakyat 8 tahun sekali dari para sarjana yang memenuhi kualifikasi mujtahid dan akhlak ulama sufi. Posisi Ayatollah Ali Khamenei dan 88 orang begitu penting karena mereka lah yang menentukan keputusan-keputusan strategis negara. Para spiritualis ini punya kekuasaan tertinggi di negara itu.
Kedua, para ulama mengendalikan Pashdaran yang sangat berpengalaman dalam perang dan setia. Pashdaran itu istilah persia untuk Korp Garda Revolusi Islam. Para pemimpin Garda Revolusi di Iran itu dipilih dari anak-anak rakyat jelata yang militan dan ditempa ilmu kemiliterannya dalam perang Irak-Iran selama 8 tahun. Setelah itu, mereka ditempa oleh perang Suriah selama 10 tahun dan belajar dari perang Yaman selama 9 tahun. Mereka sudah sangat berpengalaman memenangkan perang.
Ketiga, Iran memiliki 10 juta Basij. Itu adalah relawan rakyat yang sangat ideologis dan militan. 10 juta Basij artinya, 1 dari 8 rakyat Iran adalah anggota Basij, yang terorganisir dengan baik dan mengendalikan kekuatan rakyat secara penuh. Jika rakyat Iran mudah disusupi musuh-musuh mereka, seberapa pun kuat militernya tidak akan banyak berguna. Kekuatan Basij ini adalah kunci konsolidasi kekuatan rakyat Iran.
Keempat, Iran memiliki jaringan poros perlawanan (axis of resistance) di 9 negara tetangganya. Kekuatan Iran harus dilihat menyeluruh di luar negara Iran. Poros perlawanan yang selalu setia membela Iran tersebar luas dari Pakistan hingga Yaman.
Iran mengorganisir milisi Zainabiyon di Pakistan, Fatemiyon di Afghanistan, Huseiniyon di Azerbaijan, Hizbullah di Suriah, Hizbullah di Libanon, Hashad Syakbi di Irak, Houthi di Yaman, dan Brigadir Syuhada Al-Asytar di Bahrain. Itu belum terhitung militer negara Suriah sendiri yang bisa dimobilisasi oleh Iran.
Kelima, Iran memiliki rakyat yang super sabar dan revolusioner. Selama 40 tahun lebih, Iran telah diboikot secara ekonomi oleh AS dan sekutu-sekutunya. Ekonomi Iran guncang, inflasi sangat-sangat tinggi. Rakyat Iran sudah terbiasa dengan penderitaan, mereka berdaya tahan tinggi dalam perang. Ini akan berbanding terbalik dengan kualitas rakyat Israel.
Lima kekuatan utama inilah yang membuat Iran percaya diri dan diperhitungkan dalam percaturan geopolitik Timur Tengah. Sekaligus menjadi kekuatan pencegah yang membuat musuh-musuh Iran harus berpikir tujuh kali sebelum memulai perang terbuka dengan negara Persia itu.
Itulah sebabnya serangan Iran dua hari lalu ke Israel menjadi sorotan dunia. Media massa seluruh dunia membicarakannya sebagai headline. Media sosial menjadikan serangan itu sebagai trending topic dengan hastag Iranattack. Ini benar-benar telah mempermalukan Israel yang sombong dan arogan. Benar-benar mengejutkan!