REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah Indonesia melalui Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyerukan strategi konkret untuk mitigasi potensi kebencanaan yang bersumber dari laut dalam forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Barcelona, Spanyol, Selasa.
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa ada sejumlah strategi yang ditawarkan oleh Indonesia untuk juga diimplementasikan oleh para kepala negara di dunia dalam mewujudkan laut yang aman.
Adapun strategi tersebut di antaranya, setiap negara harus beraliansi membangun jaringan yang melibatkan para akademisi, lembaga penelitian, antar-pemerintah, maupun kemitraan pemerintah dan swasta.
Strategi selanjutnya yaitu setiap negara harus memperkuat konteks lokal bagi komunitas di daerah terpencil, serta menjamin keterlibatan sektor swasta untuk mempercepat tercapainya sistem peringatan dini (early warning system for all/EW4ALL) secara cepat, tepat, akurat, mudah dipahami dan direspons, serta wilayah jangkauannya luas.
Dengan demikian, menurut dia, mitigasi bencana dari laut bisa berjalan baik, atau dampak yang ditimbulkan bisa diminimalkan karena semua sudah sistematis dan berkesinambungan berbasis kolaboratif termasuk melibatkan masyarakat lokal.
"Memperkuat sistem artinya juga dapat menunjang pertukaran data yang bisa dimanfaatkan dalam mewujudkan cita-cita laut yang aman untuk seluruh negara di dunia," kata Kepala BMKG kepada perwakilan negara-negara peserta forum PBB yang bertajuk "Gaps and Strategies For Safe and Predicted Ocean".
Dwi menyadari penerapan strategi hingga terjadi pertukaran data itu tidak mudah, tapi bukan berarti tidak bisa dilaksanakan mengingat fungsinya sangat penting untuk menciptakan keamanan laut bagi suatu negara, bahkan seluruh negara di dunia.
Paling tidak, ia menyebutkan dengan menerapkan strategi tersebut dapat mempersempit kesenjangan dalam upaya penanganan kebencanaan secara cepat dan akurat yang masih menjadi pekerjaan rumah saat ini.
Dalam kesempatan tersebut, Dwi mengklasifikasikan sebanyak enam kesenjangan yang dimaksud, yakni mulai dari kesenjangan kerangka hukum dan mekanisme kelembagaan karena banyak negara yang gagal menerapkan pertukaran data antar-lembaga ataupun antarnegara, serta tidak adanya kerangka hukum untuk Multi-Hazard Early Warning Systems (MHEWS).
Kedua, yaitu kesenjangan terkait prasarana pengamatan dan sistem pemantauan yang mana jaringan observasi yang dimiliki masih manual, serta terbatasnya anggaran untuk otomatisasi pemantauan dan transmisi data.
Kesenjangan ketiga yaitu terkait prakiraan dan prediksi numerik yang belum dapat dilakukan karena keterbatasan kapasitas SDM dan ketersediaan sarana prasarananya.
Kesenjangan Keempat, menurut dia, dalam hal peramalan berbasis dampak di mana banyak negara dalam prakiraan dan peringatan yang dikeluarkan tidak memiliki informasi mengenai potensi bahaya dan kerentanan wilayahnya.
Kemudian, kelima dalam hal pengamatan data yakni kurangnya data observasi khususnya di lautan. Dan terakhir, ia menyebutkan, kesenjangan pada layanan peringatan dan multi-hazard early warning systems karena masih banyak negara yang tidak memiliki kapasitas mumpuni untuk memperkirakan bahaya kumulatif dan dampaknya yang berjenjang.
Maka untuk itu, Kepala BMKG menilai, peranan strategi hingga terjadi pertukaran data seputar oceanografi ini sangat penting dan patut diimplementasikan oleh setiap negara khususnya yang terlibat dalam forum PBB tersebut.