REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Perekonomian China tumbuh lebih cepat dari perkiraan pada kuartal pertama. Namun, krisis di sektor properti telah menjadi hambatan besar bagi perekonomian China.
Data Maret ini menyoroti parahnya krisis di sektor properti yang berdampak pada perekonomian yang lebih luas. Krisis ini juga berdampak pada kepercayaan dunia usaha dan konsumen, rencana investasi, keputusan perekrutan tenaga kerja, dan kinerja pasar saham.
Akibatnya, harga rumah baru di China turun pada laju tercepat dalam lebih dari delapan tahun pada bulan lalu. Investasi properti turun 9,5 persen tahun-ke-tahun (yoy) pada kuartal pertama. Angka ini memperdalam kemerosotannya setelah penurunan 9,0 persen pada bulan Januari-Februari. Penjualan pun anjlok 23,7 persen dibandingkan dengan penurunan 20,5 persen dalam dua bulan pertama tahun ini.
Ketika Federal Reserve dan negara-negara maju lainnya tidak terburu-buru untuk mulai menurunkan suku bunga, China mungkin juga akan menghadapi pertumbuhan ekspor di bawah standar dalam jangka waktu yang lebih lama. Kondisi ini tentunya menjadi pukulan lebih lanjut terhadap harapan para pengambil kebijakan untuk merekayasa pemulihan ekonomi yang kuat. "Pemulihan ini belum mempunyai dasar yang kuat karena penyesuaian mendalam pada pasar real estate dan utang pemerintah daerah masih tetap menjadi risiko utama," kata Jinyue Dong, ekonom senior di BBVA Research dikutip Reuters, Rabu (17/4/2024).
China juga harus menghadapi ketegangan yang sedang berlangsung dengan Amerika Serikat mengenai perdagangan, teknologi, dan geopolitik. Pertemuan Politbiro yang diperkirakan akan diadakan pada bulan April kemungkinan besar memberikan petunjuk mengenai respons kebijakan Beijing, meskipun hanya sedikit analis yang memperkirakan adanya stimulus besar.
Sementara pasar memperkirakan janji bank sentral untuk meningkatkan dukungan kebijakan terhadap perekonomian tahun ini akan membawa penurunan lebih lanjut pada rasio persyaratan cadangan bank dan suku bunga. Beberapa analis memperingatkan bahwa ada batasan mengenai seberapa banyak hal yang dapat mereka capai.
Diperkirakan akan lebih banyak kredit yang mengalir ke produksi dibandingkan ke konsumsi. Sehingga mengurangi efektivitas alat kebijakan moneter dalam merangsang permintaan dan pertumbuhan.