REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Teknologi blockchain semakin fokus mengadaptasi sistem keuangan syariah.
Keunggulan blockchain dalam aspek transparansi, efisiensi, dan keamanan menjadi kunci utama dalam mendukung ekosistem ekonomi umat, meliputi pesantren, pengelolaan dana wakaf, dan lainnya.
Dengan perkiraan aset keuangan Islam yang mencapai 6,7 triliun dolar AS atau Rp 108 kuadriliun pada 2027, teknologi blockchain diadopsi untuk memodernisasi kepatuhan syariah. Meskipun, ada beberapa tantangan yang memicu perdebatan di kalangan ulama.
Menurut laporan Moody's Investors Service, kontrak pintar yang tertanam, manajemen zakat yang diperbarui dan transparan, serta platform yang lebih efisien untuk penerbitan sukuk, bisa mengadopsi blockchain yang selaras dengan prinsip keuangan Islam.
Oleh karenanya, kolaborasi dengan ulama dan pakar syariah sangat penting. Menurut laporan tersebut, untuk memastikan bahwa inisiatif blockchain dan penawaran aset digital selaras dengan prinsip-prinsip etika dan hukum Islam.
"Lembaga harus melakukan penilaian menyeluruh dan proyek percontohan untuk menguji kelayakan dan skalabilitas solusi blockchain dalam konteks spesifik mereka, sambil juga menavigasi persyaratan peraturan dan mencari persetujuan dari otoritas terkait sebelum implementasi," tulis laporan Moody's dikutip Zawya, Rabu (17/4/2024).
Masih dalam laporan tersebut, memprioritaskan manajemen risiko dan pendidikan pelanggan sangat penting untuk keberhasilan adopsi blockchain dan aset digital dalam keuangan Islam. Selain itu, institusi harus mengidentifikasi dan memitigasi potensi risiko, seperti ancaman keamanan siber dan risiko operasional, sekaligus memberikan informasi yang jelas dan akurat kepada pelanggan tentang manfaat, risiko, dan implikasi penggunaan teknologi blockchain dan aset digital.
Saat ini banyak negara tertarik menjajaki potensi mata uang digital bank sentral (CBDC) dalam kerangka Islam. Namun, integrasi akan menghadirkan tantangan tersendiri karena perlunya kepatuhan syariah yang ketat.
Menurut Moody's, beberapa komponen utama blockchain, termasuk mata uang kripto yang tidak didukung dan aset yang diberi token, telah memicu perdebatan mengenai kesesuaiannya untuk diadopsi ke dalam keuangan Islam.
Meskipun terdapat tantangan-tantangan ini, beberapa aset digital mungkin memenuhi kriteria syariah jika memenuhi persyaratan tertentu yang digariskan oleh para ulama Islam. "Misalnya, aset digital yang didukung oleh aset berwujud, seperti emas atau real estat, dapat dianggap sesuai syariah karena memiliki nilai intrinsik dan tidak hanya bergantung pada perdagangan spekulatif," kata Wakil Presiden Senior & Kepala Strategi, Ekonomi Digital di Moody's Ratings Rajeev Bamra.
Demikian pula, aset digital yang memiliki tujuan ekonomi riil, seperti memfasilitasi pengiriman uang lintas negara atau meningkatkan inklusi keuangan, mungkin akan diperbolehkan.