Oleh : Darmawan Sepriyossa, Penulis dan Jurnalis
Sebenarnya wajar saja bila waktu ikut mengubur nama-nama, dan orang-orang hanya mengingat siapa jawaranya. Yang ‘lebih medioker’ siap-siaplah minggir. Tentang pembabakan susastra Indonesia, misalnya, wajar bila orang relatif hanya mengingat nama Chairil Anwar sebagai pelopor susastra Angkatan 45 di sisi puisi.
Padahal di angkatan tersebut ada banyak nama selain “Si Binatang Jalang”. Ada Asrul Sani, Rivai Apin—untuk mengingat bahwa bersama Chairil Anwar, ketiganya menerbitkan kumpulan puisi fenomenal : ”Tiga Menguak Takdir”. Ada pula nama-nama Idrus—yang seringkali disebut sebagai wakil pertama Angkatan 45 dalam bidang prosa--, Pramoedya Ananta Toer, Anas Ma’ruf, Rosihan Anwar, Usmar Ismail, Sitor Situmorang, Trisno Soemardjo, Sakti Alamsjah, D Marpaung, selain pula para pelukis ‘’Gelanggang” seperti Henk Ngantung, Baharudin dan Basuki Resobowo.
Itu pun sejauh yang tertulis secara tersurat oleh HB Jassin dalam artikelnya “Angkatan 45”, yang termuat dalam “Kesusasteraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei” jilid 1, 1951. Ada sekian banyak lagi nama lain yang tak ditulis Jassin di artikelnya itu, misalnya Achdiat Karta Mihardja, HM Balfas, Utuy Tatang Sontani, Ida Nasoetion, Siti Rukiah, dan lan-lain.
Akan halnya penamaan Angkatan 45 sendiri, sejauh ini tercatat pertama kali digunakan oleh Rosihan Anwar, wartawan-sastrawan, dalam majalah “Siasat”, edisi 9 Januari 1949.
Barangkali waktu juga membuat posisi ‘kejawaraan’ seseorang bisa seolah berubah. Bila sebelumnya kita sepakat bahwa Idrus-lah jawara kesusasteraan Indonesia era Angkatan 45 di sisi prosa, setelah setengah abad lebih dan melihat perkembangan mutakhir, mungkin saja ada di antara kita yang merasa bahwa harus ada pertimbangan baru tentang hal itu. Mungkin saja ada yang merasa harus memasukkan sisi “pengaruhnya hingga hari ini”.
Kalau pertimbangan itu diajukan, tampaknya posisi tersebut akan memunculkan nama Pramoedya Ananta Toer sebagai kandidat. Sementara karya-karya Idrus begitu menyentak di eranya dan sekian dekade setelahnya, karya-karya besarnya mungkin kini kalah dikenal orang dibanding tulisan-tulisan Pram.
Tidak hanya karena secara faktual Pramoedya adalah satu-satunya sastrawan Indonesia yang berkali-kali disebutkan masuk dalam pertimbangan Komite Nobel sebagai kandidat penerima Hadiah Nobel Susastra. Saking ngetrennya Pram di kalangan generasi pasca-Orde Baru, buku-buku ‘asli’ Pram yang diterbitkan penerbit Hasta Mitra di tahun-tahun 1980-an-1990-an, kini dijual orang laiknya barang antik yang—menyitir syair Iwan Fals--,”harganya selangit”.
Tentang Chairil dan Sitor
Selama ini, ‘runner-up’ kepenyairan Angkatan 45 sering dinisbahkan kepada Sitor Situmorang. Nama Sitor diakui penting dalam perjalanan puisi modern Indonesia. Menurut kritikus sastra A. Teeuw, setelah Chairil Anwar, Sitor adalah penyair Angkatan 45 terkemuka. Bahkan pengamat sastra dari Australia, Harry Aveling, justru menyebut Sitor sebagai penyair Indonesia terkuat.
Semua itu ditunjang dengan masa hidup Sitor yang panjang, 90 tahun (1924-2014). Selain panjangnya umur, Sitor tergolong penyair produktif. Pengamat susastra JJ Rizal yang mengumpulkan sajak-sajak Sitor ke dalam dua buku (Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1948-1979, dan buku kedua, Sitor Situmorang: Kumpulan Sajak 1980-2005), meski berhasil mengumpulkan tidak kurang dari 605 buah sajak—saya tulis buah, bukan judul, masih mengaku bila sajak-sajak Sitor banyak yang terserak dan tak berhasil dikumpulkan.
Tidak hanya karena sistem dokumentasi Sitor yang tidak tertib, begitu pula dengan sistem dokumentasi pusat-pusat dokumentasi yang ada, seperti PDS HB Jassin dan Perpustakaan Nasional. Sebab lain, Sitor pun dikenal sebagai penyair yang sering menulis sajak secara spontan dan langsung, yang begitu selesai sering diberikan kepada orang tertentu tanpa ia punya salinannya. Misalnya, menurut Rizal dalam pengantar buku “Sitor Situmorang, Kumpulan Sajak 1948-1979”, kepadanya seorang wartawan senior kantor berita nasional menceritakan, suatu saat dalam perayaan ulang tahun anaknya, Sitor secara spontan membuatkan sajak dan memberikan itu kepadanya. Sajak itu tak pernah berhasil dilacak.
Ada yang menarik dalam hubungan Sitor-Chairil ini. Setidaknya dari 605 sajak yang berhasil dilacak, Sitor pernah dua kali menulis sajak yang langsung berhubungan dengan Chairil. Kedua sajak itu masing-masing berjudul “Chairil Anwar” dan “Kepada Chairil Anwar”.
Perhatikan keduanya:
Chairil Anwar
Debu campur deru
Deru tambah sedu
Sedu dijalin rindu
Tebaran satu lagu
Kata-kata patah
Kehilangan irama
Didera panas
Api neraka.
Kepada Chairil Anwar
Tuhan, jam bila
akanan menelan pelaut?
la sungguh mengetahui
bahwa badai akan menimpa
Tau ia, maut di sisinya
maka perpisahannya begitu
ganas dan malang di pelabuhan
Pelaut mau hidup seribu tahun
pada bibir perempuan
tapi darahnya kadang beku
mengenang akan tiba di ujung
Hingga ini. Perahu bobrok 'lah terbakar
membikin langit merah sejenak
Dan laut dinginpun beriba.
Ya laut, lautan nafsunyalah
yang gemuruh dalam darahnya
Lautan merah cinta seni
tempat penyair jalang tenggelam.
Dalam tafsiran sederhana saya, di kedua sajak itu nyaris tak ada simpati buat yang telah pergi. Bahkan yang terasa justru adanya semacam ‘sorak’, mesti pelan. Lihat saja misalnya bait-bait: Kata-kata patah / Kehilangan irama / Didera panas / Api neraka, pada sajak pertama.
Atau : Dan laut dinginpun beriba/ Ya laut, lautan nafsunyalah
yang gemuruh dalam darahnya / Lautan merah cinta seni
tempat penyair jalang tenggelam.
Sebuah sorak, dan mungkin prediksi yang terbukti gawal : sebab penyair jalang itu, jangankan tenggelam, nama penyair itu, sebagaimana kata-katanya, menggaung bersipongang, memantul dari era ke dekade, bahkan masih dilafalkan anak-anak milenials dan generasi Z saat ini.