Kamis 18 Apr 2024 22:34 WIB

Pengamat: Kemajuan Industri Lewat Hilirisasi Masih Tertanggu Koordinasi Antarinstansi

Peningkatan investasi industri pengolahan nonmigas tanda tidak ada deindustrialisasi

Factory Visit ke pabrik Baja Lapis Aluminium Seng (BJLAS) PT Tata Metal Lestari (Tatalogam Group) di Kawasan Industri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.
Foto: Istimewa
Factory Visit ke pabrik Baja Lapis Aluminium Seng (BJLAS) PT Tata Metal Lestari (Tatalogam Group) di Kawasan Industri Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- industri manufaktur Indonesia terus menunjukkan peningkatan pasca pandemi Covid-19. Perkembangan positif tersebut dijawab oleh pelaku industri baik dalam dan luar negeri yang merealisasikan investasi di sektor manufaktur Indonesia.

Dalam satu dekade terakhir terdapat lonjakan tajam nilai investasi pada sektor industri pengolahan nonmigas, yaitu dari Rp 186,79 triliun pada tahun 2014 menjadi Rp 565,25 triliun pada tahun 2023. Secara kumulatif, realisasi investasi di sektor industri pengolahan nonmigas selama 10 tahun (periode 2014-2023) sebesar Rp3.031,85 triliun. Terus menanjaknya nilai investasi di sektor industri manufaktur ini adalah salah satu indikasi Indonesia tidak mengalami kondisi deindustrialisasi.

Hanya saja Peneliti Ekonomi CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet menilai kemajuan yang terjadi masih mengalami gangguan dari masalah koordinasi antarinstansi pemerintah. Menurutnya, koordinasi antar instansi pemerintah juga perlu ditingkatkan untuk mendukung pengembangan sektor manufaktur secara holistik.

"Kerap kali peraturan atau regulasi yang sudah diputuskan di level pusat tidak dapat dijalankan di level daerah karena alasan-alasan tertentu dan saya kira ini yang kemudian perlu diperbaiki. Saya kira pemerintah tengah berada dalam posisi memperbaiki, tinggal saat ini bagaimana memastikan proses perbaikan ini berlangsung sesuai dengan yang diharapkan oleh pemerintah,” ungkap Yusuf.

Yusuf juga menjelaskan bahwa program hilirisasi diterima dengan baik oleh pelaku industri terutama sektor industri logam. "Hilirisasi yang dilakukan oleh pemerintah mencatatkan kinerja realisasi investasi yang signifikan terutama untuk subsektor industri logam dasar, sehingga jika ini terus dijalankan selaras dengan upaya pemerintah dalam mendorong realisasi berbagai produk hasil tambang," tutur Yusuf.

Yusuf berharap nilai tambah dari produk yang bisa dihasilkan dari program hilirisasi ini juga akan ikut membantu pertumbuhan sektor industri manufaktur dalam jangka menengah hingga panjang. 

Chief Economist PermataBank, Joshua Pardede menyatakan bahwa kemajuan sektor industri manufaktur yang ditopang program hilirisasi ini dipandang memberikan dampak positif dalam mengerem masalah pelebaran current account deficit (CAD) yang dihadapi Indonesia. Joshua mengatakan beberapa penyebab utama terjadinya pelebaran CAD sudah dapat dikurangi dampaknya oleh pemerintah melalui melalui kebijakan hilirisasi.

“Hilirisasi akan memperpanjang domestic supply chain sehingga meningkatkan value added, hilirisasi akan mendorong kegiatan re-industrialisasi, dan hilirisasi juga menurunkan ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas mentah sehingga akan mengurangi risiko CAD dan mestabilkan nilat tukar  serta menjaga daya beli importir,” terang Joshua.

Sebagai gambaran, posisi Indonesia di jajaran manufaktur dunia diperkuat oleh nilai output industri yang terus meningkat pada periode 2020 hingga September 2023. Pada 2020, nilai output industri tercatat 210,4 miliar dolar AS, kemudian meningkat ke 228,32 miliar dolar AS pada 2021, dan kembali meningkat sebesar 241,87 miliar dolar AS pada 2022. Sementara hingga September 2023, nilai output industri telah mencapai sekitar 192,54 miliar dolar AS.

Menurutnya, peningkatan investasi dalam sektor manufaktur Indonesia memerlukan berbagai langkah-langkah yang terkoordinasi antara lain; Pertama, pemerintah perlu memberikan insentif yang menarik bagi investor seperti, keringanan pajak, subsidi atau kemudahan dalam perizinan berusaha.

Kedua, infrastruktur yang memadai juga menjadi penting untuk mendukung operasi industri manufaktur seperti, jalan, pelabuhan, dan listrik.

"Peningkatan investasi dalam infrastruktur menjadi kunci untuk kelancaran sektor ini. Selain itu, pengembangan sumber daya manusia (SDM) dengan meningkatkan kualitas pendidikan dan pelatihan vokasi juga menjadi prioritas," terang Yusuf.

Menurutnya, inovasi menjadi kunci utama dalam upaya meningkatkan daya saing manufaktur dalam negeri. Oleh karena itu, pemerintah harus mendukung dengan menyediakan dana penelitian dan pengembangan serta mendorong kerja sama antara industri dan akademisi.

Ketiga, peningkatan efisiensi operasional melalui penerapan teknologi baru dan manajemen rantai pasokan yang lebih baik.

Keeempat, ekspansi pasar ke luar negeri yang didukung oleh promosi produk Indonesia di pasar internasional dan perjanjian perdagangan bebas. 

"Ini ada hubungannya dengan bagaimana mendorong industri manufaktur di dalam negeri itu terlibat lebih banyak dan lebih besar dalam rantai pasok industri manufaktur global, sehingga nantinya produk-produk yang dihasilkan di dalam negeri bisa juga dijual untuk berbagai negara ketika memang tergabung dalam rantai pasok ini," paparnya.

Kelima, kebijakan pemerintah yang konsisten dan berkelanjutan. "Ini diperlukan untuk memberikan kepastian bagi investor," katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement