Kamis 18 Apr 2024 16:43 WIB

IOC Diminta Desak Prancis Batalkan Larangan Hijab pada Olimpiade 2024

Larangan hijab oleh Prancis untuk para atletnya melanggar Piagam Olimpiade.

Rep: Fitriyanto/ Red: Israr Itah
Atlet bola basket Muslimah Prancis Salimata Sylla kecewa aturan larangan jilbab di Olimpiade 2024.
Foto: AA
Atlet bola basket Muslimah Prancis Salimata Sylla kecewa aturan larangan jilbab di Olimpiade 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- FairSquare, sebuah organisasi nirlaba yang berfokus pada perjuangan hak asasi manusia, telah menulis surat kepada Komite Olimpiade Internasional (IOC). Mereka mendesak IOC untuk secara terbuka meminta pihak berwenang Prancis mencabut larangan bagi para atletnya mengenakan hijab saat berlaga di Olimpiade 2024.

FairSquare meminta IOC menjatuhkan sanksi kepada Prancis jika mereka gagal melakukannya. IOC telah mengklarifikasi bahwa sesuai dengan peraturan IOC, atlet dari negara lain tidak akan dilarang mengenakan hijab saat berlaga di Olimpiade Paris. Namun atlet berhijab dari negara tuan rumah tidak dapat berpartisipasi pada Olimpiade di negara sendiri. Salah satu yang menyuarakan kekecewaanya adalah atlet bola basket Muslimah Prancis Salimata Sylla.

Baca Juga

Dalam suratnya, FairSquare menyuguhkan fakta bahwa larangan Prancis berawal dari artikel Federasi Sepak Bola Prancis yang secara keliru mengartikan Pasal 50 Piagam Olimpiade, dan mengatakan bahwa larangan tersebut tampaknya merupakan "bagian dari tren yang mengganggu untuk mengecualikan Muslim dari partisipasi dalam olahraga di Prancis" dengan kedok menegakkan "netralitas politik".

IOC berbicara tentang kapasitas Olimpiade untuk mempromosikan perdamaian dan persatuan. Namun pada saat yang sama tidak bereaksi tentang tindakan memecah belah yang dilakukan Prancis, yang memaksa banyak atlet Muslim perempuannya memilih antara menjalankan perintah agama atau berlaga di arena olahraga.

Nick McGeehan, salah satu direktur FairSquare mengatakan,"Jika IOC tidak bersuara menentang keputusan ini, hal ini dapat menjadi preseden berbahaya di mana piagam Olimpiade dapat diinstrumentalisasi oleh negara-negara lain yang ingin melakukan diskriminasi atas dasar keyakinan agama."

Pada September 2023, Menteri Olahraga Prancis Amélie Oudéa-Castéra mengumumkan dalam sebuah wawancara televisi bahwa para atlet negara itu akan dilarang mengenakan hijab di Olimpiade Paris yang akan datang. Ia beralasan keputusan ini berdasarkan "sekularisme yang ketat" di Prancis, yang menurutnya "berarti pelarangan segala bentuk dakwah, netralitas absolut dalam pelayanan publik." 

Tak lama setelah pengumuman Menteri Oudéa-Castéra, IOC mengklarifikasi bahwa tidak akan ada pembatasan pada pakaian budaya atau agama, termasuk hijab, bagi para atlet yang bertanding di Paris 2024. "Untuk Kampung Atlet Olimpiade, peraturan IOC berlaku," kata juru bicara IOC, menjelaskan bahwa ini berarti "tidak ada batasan untuk mengenakan hijab atau pakaian agama atau budaya lainnya."

Dalam komentarnya, Oudéa-Castéra secara khusus mengutip keputusan pada Juni 2023 dari Conseil d'Etat Prancis, pengadilan administratif tertinggi di negara itu, sebagai bagian penting dari keputusan pemerintah untuk melarang atlet berhijab mewakili Prancis di Olimpiade. 

Kasus tersebut berkisar pada Pasal 1 Statuta Federasi Sepak Bola Prancis (FFF), yang diamandemen pada tahun 2015 untuk melarang para pemain mengenakan "simbol atau pakaian yang secara jelas menunjukkan pandangan politik, filosofis, agama, atau serikat pekerja." Dalam Pasal 1, FFF sebagian membenarkan larangan ini dengan mengacu pada Pasal 50 Piagam Olimpiade. Padahal ketentuan IOC yang dimaksud hanya melarang "propaganda politik, agama, atau ras"

Jauh dari upaya untuk menegakkan netralitas, pemerintah Prancis secara aktif mempolitisasi badan-badan olahraganya dan para atletnya.

Pada Januari 2022, para Senator Prancis memberikan suara mendukung proposal yang menetapkan bahwa penggunaan "simbol-simbol agama yang mencolok dilarang" di semua acara dan kompetisi yang diselenggarakan oleh federasi olahraga, meskipun hal ini kemudian ditolak oleh Majelis Nasional. Amnesty International menyatakan bahwa perdebatan di parlemen mengenai proposal tersebut menunjukkan "para politisi menggunakan retorika yang menghasut dan stereotip ofensif yang menstigmatisasi perempuan Muslim dan sering kali mengkondisikan partisipasi mereka dalam olahraga komunitas dengan pembatasan yang tidak perlu dan tidak proporsional terhadap hak-hak mereka atas kebebasan berekspresi, berpikir, hati nurani, dan beragama." 

Pada Desember 2022, Federasi Bola Basket Prancis (FFBB) memperkenalkan larangan "penggunaan peralatan apa pun yang memiliki konotasi agama atau politik." Seperti halnya sepak bola, keputusannya sangat kontras dengan posisi FIBA, badan pengatur olahraga tersebut, yang memperbolehkan penggunaan jilbab pada 2017.

Pada Maret 2024, FFF mengumumkan bahwa para pemain yang dipanggil oleh tim nasional Prancis tidak dapat berpuasa selama bulan Ramadan. Presiden FFF Philippe Diallo mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa aturan baru ini mencerminkan "prinsip netralitas" yang tertulis dalam anggaran dasar organisasi dan bahwa langkah-langkah tersebut "memastikan bahwa agama tidak mengganggu seorang atlet."

Pada Oktober 2023, enam pakar hak asasi manusia PBB menulis surat kepada pemerintah Prancis untuk menyampaikan keprihatinan mereka. Mereka menilai larangan atlet Prancis mengenakan hijab melanggar hak perempuan dan anak perempuan Muslim di Prancis untuk "berpartisipasi dalam kehidupan olahraga" dan dapat "memicu intoleransi dan diskriminasi terhadap mereka."

IOC menyatakan bahwa misi dan perannya adalah untuk "mendorong dan mendukung promosi perempuan dalam olahraga di semua tingkatan" dan "menentang segala bentuk diskriminasi yang mempengaruhi Gerakan Olimpiade." 

Sejak tahun 1996, ketika IOC mencabut larangan atlet berhijab di Olimpiade, atlet berhijab telah meraoh medali di cabang olahraga anggar, angkat besi, dan taekwondo. Ini menunjukkan keberhasilan perubahan IOC dalam memperluas aksesibilitas ke olahraga. Pasal 59 Piagam Olimpiade mengatur berbagai sanksi untuk pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuannya.

Negara lain yang menuai kritik karena memberlakukan pembatasan terhadap apa yang boleh dan tidak boleh dikenakan oleh para atletnya adalah Iran. Berkebalikan dari Prancis, undang-undang wajib hijabnya memengaruhi hampir semua aspek kehidupan publik perempuan di negara itu, termasuk partisipasi dalam olahraga. 

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement