REPUBLIKA.CO.ID,MAKKAH -- Adab berperang dalam Islam adalah tentang prinsip-prinsip etika yang harus diikuti oleh seorang Muslim ketika terlibat dalam konflik atau peperangan. Ini termasuk prinsip-prinsip seperti melindungi warga sipil, tidak menyakiti orang yang tidak bersalah, memberi peringatan sebelum menyerang, dan memperlakukan tawanan perang dengan hormat.
Itu semua berdasarkan pada ajaran Islam tentang keadilan, kasih sayang, dan penghargaan terhadap kemanusiaan. Namun, bolehkah berbohong ketika dalam situasi perang?
Dalam buku “Damai Bersama Alqur'an: Meluruskan Kesalahpahaman Seputar Konsep Perang dan Jihad dalam Alqur'an” terbitan LPMQ dijelaskan, sudah menjadi kesepakatan umum bahwa perang, apa pun bentuknya, memerlukan strategi untuk memenangkannya.
Namun, perang yang dimaksud di sini adalah perang di jalan Allah, bukan perang para preman yang mempertahankan wilayah kekuasaan atau perang yang lain, semisal perang harga para produsen untuk saling menjatuhkan, dan sebagainya. Perang model itu terlarang dalam agama, apalagi berbohong dalam hal yang memang sudah terlarang.
Oleh karena itu, kebohongan yang dibolehkan adalah yang termasuk bagian dari strategi dalam rangka memenangkan perang di jalan Allah melawan orang kafir yang memusuhi Islam.
Menggunakan strategi kebohongan atau tipuan dalam suasana perang untuk memenangkannya tampaknya memang diperlukan. Hadis berikut menjelaskan tentang peperangan itu sebagai tipu daya.
الْحَرْبُ خَذْعَةٌ
Artinya: "Perang itu adalah tipu daya" (HR Bukhari dan Muslim).
Pasukan yang berperang tanpa strategi tentu akan mudah dipatahkan oleh lawan. Namun, tidak berarti harus dilakukan dengan segala cara yang tidak beretika. Etika perang sesuai dengan kesepakatan-kesepakatan umum atau konvensi-konvensi tentang hal itu tetap harus dikedepankan.
Sebagian besar ulama sepakat membolehkan melakukan tipu daya terhadap orang kafir yang menjadi musuh dalam peperangan. Meskipun ada sebagian lain, seperti at-Tabariy, yang tetap tidak membolehkan tipu daya atau kebohongan dalam situasi apa pun, kecuali yang sifatnya kiasan, sindiran halus, atau bahasa-bahasa yang mengambang untuk tidak mengatakan sesuatu perihal perang secara jelas (vulgar, eksplisit).
Lebih jelasnya, Abu al-'Ala' al-Mubarakfuriy mengutip perkataan at-Tabariy sebagai berikut: “Kebohongan yang dibolehkan dalam perang hanyalah yang bersifat kiasan (bahasa ambang). Bukan kebohongan dalam arti sebenarnya, karena hal itu selamanya tidak diperbolehkan.”
Perlu ditegaskan bahwa kebolehan untuk berdusta (baca: mengembangkan strategi yang dirahasiakan) ataupun mengungkapkan dengan bahasa-bahasa yang mengambang hanya berlaku pada saat perang, upaya islah, dan sanjungan kepada pasangan suami-istri sebagaimana telah dijelaskan di atas. Artinya, di luar suasana itu maka kebohongan merupakan suatu perbuatan dosa.
Hal ini penting untuk dikemukakan, karena ada sebagian masyarakat kita yang membolehkan untuk menipu, membohongi, atau mencurangi orang lain yang tak seiman dengan mengambinghitamkan hadis yang disebutkan di atas. Padahal, dalam hadis tersebut sangat jelas disebut kata al-harb (dalam perang).
Di luar itu, kebohongan, tipu daya, dan sejenisnya tidak layak dilakukan oleh penganut agama yang senantiasa mempresentasikan kedamaian. Orang Muslim adalah orang yang membuat lingkungannya selalu merasa damai atas kehadirannya karena ucapan maupun perbuatannya.
Dalam buku yang sama, Mufti Besar Mesir Prof 'Ali Jumu'ah juga telah menyebutkan enam syarat dan etika atau adab perang dalam Islam, yaitu:
1. Cara dan tujuan harus jelas dan mulia.
2. Perang atau pertempuran hanya diperbolehkan dengan pasukan yang berperang, bukan penduduk sipil.
3. Perang harus dihentikan bila pihak lawan telah menyerah dan memilih damai.
4. Melindungi tawanan perang dan memperlakukannya secara manusiawi.
5. Memelihara lingkungan, antara lain dengan tidak membunuh binatang tanpa alasan, membakar pohon, merusak tanaman, mencemari udara dan sumur, dan merusak rumah atau bangunan.
6. Menjaga hak kebebasan beragama para agamawan dan pendeta tanpa merugikan mereka.
Rasulullah SAW sendiri telah memberikan teladan terkait adab dalam berperang. Hal Ini bisa diketahui dalam hadits yang diriwayatkan dari Hanzalah, yang berkata:
"Kami telah berperang bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba kami menjumpai seorang wanita yang terbunuh dan telah dikerumuni masyarakat, kemudian mereka memberi jalan untuk beliau."
Lalu Rasulullah SAW bersabda, "Wanita ini tidak ikut berperang dengan mereka yang perang." Kemudian beliau SAW bersabda kepada seorang laki-laki, "Berangkatlah menuju Khalid bin Walid dan katakan kepadanya bahwa Rasulullah SAW memerintahkanmu, sambil bersabda 'Janganlah engkau bunuh keturunan-keturunannya dan para buruh kerjanya.'" (HR Ibnu Majah)