Jumat 19 Apr 2024 05:58 WIB

M16 dan CIA di Balik Kudeta 1953, Reza Pahlavi Naik Takhta Iran Berkat Konspirasi Minyak?

Kudeta 1953 menggulingkan Perdana Menteri Iran Mohammed Mossadegh

Rep: Umar Mukhtar / Red: Nashih Nashrullah
Warga Iran merayakan peringatan 44 tahun Revolusi Islam 1979 (ilustrasi).  Kudeta 1953 menggulingkan Perdana Menteri Iran Mohammed Mossadegh
Foto: EPA-EFE/ABEDIN TAHERKENAREH
Warga Iran merayakan peringatan 44 tahun Revolusi Islam 1979 (ilustrasi). Kudeta 1953 menggulingkan Perdana Menteri Iran Mohammed Mossadegh

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA – Inggris memainkan peran penting di balik kudeta pada 1953 di Iran, yang menggulingkan Perdana Menteri Iran Mohammed Mossadegh dan mengembalikan Shah Mohammad Reza Pahlavi ke tampuk kekuasaan. CIA diyakini telah merencanakan, memfasilitasi, dan berpartisipasi dalam kudeta tersebut.

Namun, selama persiapan film dokumenter tentang kudeta Iran, yang ditayangkan pada 2020 dan akan ditayangkan di bioskop pada musim dingin pada 2023, ditemukan wawancara yang dilakukan pada pada 1985 dengan Norman Drapyshire. 

Baca Juga

Dia adalah seorang perwira di Badan Intelijen Inggris (MI6), di mana dia mengungkapkan peran Inggris dalam kudeta tersebut. Meski dia belum secara resmi mengakuinya.

Informasi ini pertama kali dipublikasikan di surat kabar Inggris The Guardian pada 2020, yang mengungkap kisah nyata di balik kudeta pada 1953, dan bagaimana intelijen Inggris bekerja selama bertahun-tahun untuk membujuk Amerika Serikat agar berpartisipasi di dalamnya.

Mohammad Mosaddegh menjadi perdana menteri Iran pada  1951, kemudian mengeluarkan keputusan untuk menasionalisasi Perusahaan Minyak Anglo-Iran. Singkatnya, persoalan perminyakan inilah yang mendorong pemerintah Inggris merencanakan penggulingannya dan merencanakan kudeta pada 1953.

Norman Darbyshire, dan asistennya, ditugaskan mengembangkan rencana untuk menggulingkan Perdana Menteri Iran. Intelijen Inggris menyebutnya Operasi Bootstrap.

Kemudian, ketika Amerika Serikat bergabung dalam operasi tersebut pada musim semi pada 1953 (setelah Eisenhower terpilih sebagai presiden), operasi tersebut berganti nama menjadi “Operasi Ajax” (TPAJAX).

Rencana kudeta mulai dilaksanakan pada 15 Agustus 1953, dengan partisipasi Shah Iran dan beberapa anggota tentara. Namun keadaan menjadi semrawut. Beberapa orang tidak berhasil masuk ke dalam angkatan bersenjata, sehingga Shah panik dan melarikan diri dengan pesawat kecil ke Baghdad.

Ketika Amerika Serikat menunjukkan kesediaannya untuk membatalkan rencana tersebut, Norman Darbyshire menolak menyerah dan ingin melanjutkan kudeta pada 1953. Saat itu dia baru berusia 28 tahun, dan sedang mengamati kejadian dari sebuah pangkalan rahasia di Siprus.

Dia berkomunikasi dengan agen-agennya di Iran untuk membanjiri jalan-jalan Teheran dengan tentara bayaran, yang tugasnya hanya bentrok dengan pendukung Mohammed Mossadegh dan sekutunya di Partai Tudeh. Memang benar, ia berhasil mengobarkan protes jalanan melalui agen bayaran selama periode kudeta pada 1953.

Adegan kacau ini cukup untuk meyakinkan perwira militer yang tidak bersekutu dengan Mossadegh, untuk memihak Shah. Pada akhir kudeta 1953, momentumnya bergeser ke arah Shah.

Hampir dapat dipastikan bahwa perekrutan pemuda Norman Darbyshire untuk bekerja di Badan Intelijen Inggris dilakukan oleh seorang mata-mata Inggris yang merupakan teman sekamarnya di Teheran, bernama Robin Zainer.

Zayner menunjukkan kepadanya jaringan kontaknya selama kudeta pada 1953, termasuk Shah Mohammad Reza Pahlavi, yang hanya 5 tahun lebih tua dari Darbyshire, dan tiga saudara laki-laki (Saif Allah, Asadillah, dan Ghodra Allah Rashidian), yang merupakan pengusaha Iran yang setia kepada Inggris.

Salah satu tugas Darbyshire selama kudeta pada 1953 di Teheran adalah mengirimkan uang kepada pelanggan, yang dia masukkan ke dalam kaleng biskuit.

 

 

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement