REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analis mata uang Lukman Leong mengatakan konflik Iran dan Israel yang memanas menyebabkan sentimen risk-off di pasar sehingga pasar ekuitas dan mata uang berisiko mengalami penurunan.
"Reaksi investor saat ini ada risk off, dengan pasar ekuitas dan mata uang berisiko mengalami penurunan besar," kata Lukman kepada ANTARA di Jakarta, Jumat (19/4/2024).
Lukman menuturkan para investor akan cenderung menghindari aset-aset berisiko seperti mata uang di pasar emerging market termasuk rupiah.
Mereka akan lebih memilih aset safe haven seperti Franc Swiss, Yen Jepang, dolar AS, dan emas. Kondisi itu mengakibatkan safe haven menguat, begitu pula dengan harga minyak mentah.
Indonesia terutama dalam hal rupiah akan mengalami dampak cukup berat dengan semakin melemahnya nilai tukar rupiah.
Hal itu dikarenakan dolar AS sudah menguat cukup besar belakangan ini oleh menurunnya prospek pemangkasan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (AS) atau The Fed. Apalagi, ditambah dengan sentimen risk-off akibat konflik Iran dan Israel yang memas.
Senada dengan Lukman, analis Finex Brahmantya Himawan mengatakan konflik Iran dan Israel yang memanas akan menyebabkan pelemahan rupiah lebih dalam karena dolar AS akan lebih menguat lagi.
Dolar AS menjadi salah satu aset lindung nilai yang lebih diminati pelaku pasar saat terjadi ketegangan geopolitik.
"Bisa dipastikan dolar AS akan lebih menguat lagi, kenapa? Karena dolar AS itu adalah safe haven-nya currency mata uang," tuturnya.
Konflik Iran dan Israel yang memanas tidak hanya berimbas pada penguatan dolar AS, tapi juga akan menyebabkan penguatan terhadap emas dan kenaikan harga minyak mentah dunia.
"Jadi, kalau di pasar keuangan semuanya potensi akan kalah dengan dolar AS, terlebih kita tahu kalau akan ada penundaan pemangkasan suku bunga oleh The Fed," ujarnya.