REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Al Ghazali bernama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin mengingatkan konsekuensi bagi seorang ayah atau kepala keluarga. Sebab, Allah SWT telah mengingatkan agar memelihara keluarga agar tidak terkena api neraka.
Sehubungan dengan itu, seorang kepala keluarga atau pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Maka itu, Imam Al Ghazali mengingatkan tiga konsekuensi pernikahan bagi seorang kepala keluarga.
Berkaitan dengan apa yang harus ditanggung dari sebuah pernikahan atau yang lebih tepat dikatakan sebagai konsekuensi logis dari sebuah pernikahan ada tiga jenis.
Konsekuensi pertama, kesulitan untuk memperoleh penghasilan yang dihalalkan. Maksudnya, pernikahan bisa menjadi penyebab seseorang mencari sesuatu yang diharamkan, demi memenuhi kebutuhan keluarga yang menjadi tanggung jawabnya.
Dalam sebuah hadis diceritakan bahwa ada seorang hamba yang mempunyai banyak sekali amal kebaikan. Bahkan nyaris sebesar gunung amal kebaikannya.
Kemudian, hamba itu diperintahkan untuk berdiri di posisi timbangan amal (mizan), sampai ditanyakan perihal hartanya, dari mana ia telah memperolehnya, dan untuk apa dibelanjakan, berikut pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Kemudian anak-anaknya berkata kepada Allah SWT pada Hari Pembalasan itu, "Ya Allah, Rabb kami, ambillah darinya perhitungan atas kewajibannya kepada kami. Sebab, ia tidak mengajarkan kepada kami apa yang tidak kami ketahui. Ia juga telah memberikan makanan yang Engkau haramkan kepada kami tanpa sepengetahuan kami."
Nabi Muhammad SAW juga bersabda,
لا يَلْقَى اللَّهَ أَحَدٌ بِذَنْبِ أَعْظَمَ مِنْ جَهَالَةِ أَهْلِهِ.
"Tidak seorang pun akan bertemu Allah SWT dengan dosa yang lebih besar daripada dosa atas kebodohan yang ditimbulkannya kepada keluarga atau siapa saja yang menjadi tanggung jawabnya dalam rumah tangga." (Disebutkan oleh pemilik kitab al-Firdaus dari hadis Abi Sa'id al-Khudri)
Sangat sedikit manusia yang mampu berlepas diri dari bahaya semacam ini.
Konsekuensi yang kedua, tidak menunaikan kewajiban terhadap keluarga, kurangnya kesabaran terhadap perbaikan akhlak mereka, dan tidak berusaha menanggung penderitaan mereka.
Rasulullah SAW bersabda, "Cukuplah dosa yang membinasakan bagi orang yang menyia-nyiakan keluarganya." (HR Imam Abu Dawud)
Nabi Muhammad SAW juga mengingatkan, "Orang yang melarikan diri dari tanggung jawab atas kebutuhan keluarganya laksana budak yang meninggalkan tuannya. Sholat dan puasanya tidak akan diterima, sampai ia kembali bertanggung jawab atas keluarganya. Oleh karena itu, siapa saja yang menyia-nyiakan keluarganya (mengacuhkan hak-hak mereka), ia bertindak layaknya orang yang melarikan diri dari medan jihad, meskipun ia masih berada di posisinya (tanpa tanggung jawab yang semestinya)."
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
Yā ayyuhal-lażīna āmanū qū anfusakum wa ahlīkum nāraw waqūduhan-nāsu wal-ḥijāratu ‘alaihā malā'ikatun gilāẓun syidādul lā ya‘ṣūnallāha mā amarahum wa yaf‘alūna mā yu'marūn(a).
Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (QS At-Tahrim Ayat 6)
Konsekuensi yang ketiga dari sebuah pernikahan adalah keluarga boleh jadi akan menjauhkan seseorang dari mengingat Allah SWT. Disebabkan hanya mendorong kepadanya untuk mengumpulkan harta, mencari kemegahan duniawi, dan membangga-banggakan diri.
Apapun perkara yang bisa mengalihkan perhatian kita dari mengingat Allah SWT, yakni sibuk dengan urusan dunia, merupakan penyebab bagi sesuatu yang merugikan.
Demikianlah konsekuensi logis dari sebuah pernikahan. Untuk menetapkan baik atau buruknya menikah bagi seseorang, hal itu sangat bergantung pada karakter masing-masing. Sangat dibutuhkan nasihat serta pertimbangan bagi seseorang untuk menentukan apakah ia lebih baik menikah atau tidak.
Pernikahan pada hakikatnya baik untuk dilaksanakan, dan bermanfaat bagi seseorang apabila di dalam pelaksanaannya tidak sampai mengalihkan perhatian pelaku pernikahan dari mengingat Allah SWT serta dari jalan kebaikan. Jika sebaliknya, maka pernikahan itu akan bernilai buruk serta merugikan bagi dirinya sendiri.
Apabila seseorang memerlukan ketenteraman bagi terpelihara serta terjaganya nafsu syahwat, maka jalur pernikahan jauh lebih utama baginya.
Demikian dijelaskan dalam kitab Ihya Ulumuddin karya Imam Al Ghazali bergelar Hujjatul Islam Zainuddin al-Thusi