Jumat 19 Apr 2024 22:01 WIB

Ahli Sebut Penyebab Banjir Dubai karena Perubahan Iklim

Curah hujan jarang terjadi di UEA dan wilayah lain di Semenanjung Arab.

Rep: Rahma Sulistya/ Red: Qommarria Rostanti
Sebuah kendaraan yang ditinggalkan berdiri di tengah air banjir akibat hujan lebat di Dubai, Uni Emirat Arab, Kamis, (18/4/2024).
Foto: AP
Sebuah kendaraan yang ditinggalkan berdiri di tengah air banjir akibat hujan lebat di Dubai, Uni Emirat Arab, Kamis, (18/4/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Bencana badai melanda Uni Emirat Arab dan Oman pada pekan ini. Curah hujan tinggi membanjiri jalan raya, menggenangi rumah-rumah, menyebabkan kemacetan lalu lintas, dan menjebak orang-orang di rumah masing-masing.

Sedikitnya 20 orang dilaporkan tewas akibat banjir di Oman, sementara satu orang lainnya dikabarkan tewas akibat banjir di UEA yang menutup kantor-kantor pemerintah dan sekolah selama berhari-hari. Badai tersebut awalnya melanda Oman pada Ahad (14/4/2024) sebelum menghantam UEA pada Selasa (16/4/2024), memutus aliran listrik dan menyebabkan gangguan besar pada penerbangan karena landasan pacu berubah menjadi sungai.

Baca Juga

Di UEA, rekor curah hujan sebesar 254 milimeter (10 inci) tercatat di Al Ain, kota yang berbatasan dengan Oman. Itu adalah yang terbesar dalam periode 24 jam sejak pencatatan dimulai pada 1949.

Curah hujan jarang terjadi di UEA dan wilayah lain di Semenanjung Arab, yang biasanya dikenal dengan iklim gurun keringnya. Suhu udara di musim panas bisa melonjak hingga di atas 50 derajat Celsius. 

Namun UEA dan Oman juga kekurangan sistem drainase untuk mengatasi hujan lebat, dan jalan yang terendam tidak jarang terjadi saat hujan. Setelah kejadian pada Selasa, muncul pertanyaan apakah cloud seeding atau penyemaian awan, sebuah proses yang sering dilakukan UEA, dapat menyebabkan hujan lebat.

Dilansir laman Reuters, penyemaian awan adalah proses penanaman bahan kimia ke dalam awan untuk meningkatkan curah hujan di lingkungan yang mengkhawatirkan kelangkaan air. UEA, yang terletak di salah satu wilayah terpanas dan terkering di bumi, telah memimpin upaya untuk menciptakan awan dan meningkatkan curah hujan.

Namun, badan meteorologi UEA mengatakan kepada Reuters, tidak ada penyemaian awan sebelum badai terjadi. “Curah hujan yang tinggi kemungkinan besar disebabkan oleh sistem cuaca normal yang diperburuk oleh perubahan iklim,” kata para ahli. 

“Sistem tekanan rendah di bagian atas atmosfer, ditambah dengan tekanan rendah di permukaan, bertindak seperti tekanan 'memeras' di udara,” kata prakirawan senior Pusat Meteorologi Nasional pemerintah UEA, Esraa Alnaqbi.

Tekanan tersebut, yang diperparah oleh kontras antara suhu yang lebih hangat di permukaan tanah dan suhu yang lebih dingin di tempat yang lebih tinggi, menciptakan kondisi terjadinya badai petir yang dahsyat. Fenomena abnormal ini bukan hal yang tidak terduga. Karena pada April ketika musim berganti, tekanannya berubah dengan cepat, dan perubahan iklim juga kemungkinan besar berkontribusi terhadap badai tersebut. 

Para ilmuwan iklim mengatakan bahwa kenaikan suhu global, yang disebabkan oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia, menyebabkan terjadinya cuaca yang lebih ekstrem di seluruh dunia, termasuk curah hujan yang tinggi. “Curah hujan akibat badai petir, seperti yang terjadi di UEA dalam beberapa hari terakhir, mengalami peningkatan yang kuat seiring dengan pemanasan. Hal ini karena konveksi, yang merupakan aliran udara ke atas yang kuat dalam badai petir, menguat di dunia yang lebih hangat,” kata seorang profesor iklim ekstrem l Vrije Universiteit Amsterdam, Dim Coumou.

Dosen senior ilmu iklim Imperial College London, Friederike Otto mengatakan, curah hujan menjadi jauh lebih deras di seluruh dunia seiring dengan pemanasan iklim karena atmosfer yang lebih hangat dapat menampung lebih banyak kelembapan. “Penyemaian awan tidak bisa menciptakan awan dari ketiadaan. Hal ini mendorong air yang sudah ada di langit mengembun lebih cepat dan menjatuhkan air di tempat-tempat tertentu. Jadi pertama-tama, Anda memerlukan kelembapan. Tanpanya, tidak akan ada awan,” kata Otto.

“Pemanasan global telah mengakibatkan air menjadi luar biasa hangat di laut sekitar Dubai, yang juga memiliki udara sangat hangat di atasnya,” kata Direktur Institut Solusi Iklim, Energi, dan Bencana Universitas Nasional Australia, Mark Howden.

“Hal ini meningkatkan potensi laju penguapan dan kapasitas atmosfer untuk menampung air, sehingga memungkinkan terjadinya curah hujan yang lebih besar seperti yang baru saja kita lihat di Dubai,” kata ahli iklim Universitas Edinburgh, Gabi Hegerl. Ia mengatakan curah hujan ekstrem, seperti di UEA dan Oman, kemungkinan akan bertambah buruk di banyak tempat akibat dampak perubahan iklim.

Jika kondisinya sempurna untuk hujan lebat, udara akan lebih lembap, sehingga hujan akan turun lebih deras. Kelembapan ekstra ini terjadi karena udara menjadi lebih hangat, yang disebabkan oleh perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.

sumber : Reuters
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement