REPUBLIKA.CO.ID, Laporan Jurnalis Republika Kamran Dikarma dari Beijing, Cina
BEIJING -- Menciptakan musik untuk ketenangan jiwa sudah menjadi semangat dari Ajing Zhaa, musisi asal Yunnan, Cina. Dalam proses pencarian identitasnya sebagai musisi, Ajing tertambat, dan pada akhirnya mengabdikan dirinya untuk melestarikan alat musik tiup tradisional Negeri Tirai Bambu.
Saya berkesempatan menyaksikan konser Ajing pada Kamis (18/4/2024) malam lalu. Konser Ajing dengan tajuk “Spring Melody Concert” digelar di gedung Beijing Language and Cultural Center for Diplomatic Mission. Saya hadir bersama para jurnalis yang sedang mengikuti program China International Press Center (CIPC).
Dalam konser tersebut, Ajing tampil solo. Kendati demikian, ia telah mempersiapkan aransemen yang sudah direkamnya terlebih dulu. Aransemen tersebut menjadi pengiring untuk permainan alat musik tiup tradisionalnya. Pada awal pertunjukannya, Ajing tak lupa memperkenalkan terlebih dulu beberapa instrumen yang hendak dimainkannya.
“Pertama, izinkan saya memperkenalkan Anda pada instrumen dari padang rumput. Ini memiliki sejarah 8.000 tahun dan merupakan simbol suku nomaden, yang dikenal sebagai ‘mordun chaoer’,” kata Ajing kepada para penonton.
Ajing mengungkapkan, mordun chaoer terbuat dari bambu. Namun, karena bambu tidak tumbuh subur di padang rumput bagian utara Cina, orang-orang di sana biasanya membuatnya dari alang-alang, kemudian membungkusnya dengan usus domba hingga membentuk lapisan pelindung.
Sementara mordun chaoer yang dimainkan Ajing pada konser malam itu terbuat dari pipa PVC. Ajing mengatakan, instrumen mordun chaoer normal, rentan terhadap tantangan iklim dan cuaca. Sementara yang terbuat dari pipa PVC lebih memiliki daya tahan.
Setelah memperkenalkan mordun chaoer, Ajing pun memainkan gubahan pertamanya. Dia memutar aransemen yang telah direkamnya lebih dulu.
Selanjutnya...