REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah diminta untuk terus menjaga daya beli masyarakat dengan mengendalikan harga-harga maupun tingkat inflasi nasional di tengah eskalasi konflik di Timur Tengah. Adanya serangan Iran ke Israel dan sebaliknya berpotensi untuk memberikan dampak perekonomian global termasuk Indonesia.
Kepala Center of Digital Economy and SMEs INDEF Eisha Maghfiruha menilai, perlunya antisipasi dan mitigasi kebijakan ekonomi untuk memastikan stabilitas dan tercapainya pertumbuhan ekonomi.
"Sehingga menjaga stabilitas ekonomi penting dan perlu diutamakan terutama ya kalau kita lihat dari penggerak pertumbuhan ekonomi, berarti konsumsi, investasi, government spending dan juga perdagangan internasional ini seluruh aspek ini perlu diperhatikan," ujar Eisha dalam Diskusi Publik: Ekonom Perempuan INDEF Bicara Kebijakan dan Nasib Ekonomi di Tengah Ketegangan Perang Global, Sabtu (20/4/2024).
Pertama, Pemerintah perlu menjaga daya beli konsumsi masyarakat khususnya kalangan menengah ke bawah. Hal ini karena peningkatan konflik geopolitik global berpotensi ke kenaikan harga-harga. Sehingga berpengaruh terhadap daya beli masyarakat.
"Daya beli masyarakat itu harus dijaga. kalau kita lihat disini ritel sale itu sebenarnya masih didominasi oleh bahan bakar kendaraan bermotor ya. Kalau misalnya harganya melonjak tinggi baik itu mungkin karena depresiasi nilai tukar Rupiah yang tinggi atau misalnya harga minyak oil yang nanti akan melonjak ketika eskalasi eksternal ini sangat tinggi, maka ini pasti akan berdampak terhadap daya beli," ujarnya
Karena itu, Pemerintah diharapkan berkoordinasi dengan Bank Indonesia untuk menyusun kebijakan yang tepat. Menurutnya, kenaikan harga dipincu terhambatnya rantai suplai akibat konflik. Ia mencontohkan, distribusi logistik yang lebih panjang dan lama karena menghindari wilayah konflik.
"Ini akan mempengaruhi bagaimana industri manufaktur yang memang membutuhkan input termasuk juga harga-harga komoditas terhambat, kelangkaan terjadi dan bisa mendorong harga sangat tinggi," ujarnya.
Karenanya, Eisha juga menilai perlunya pemerintah menyusun kebijakan tepat di sektor industri. Hal ini karena eskalasi konflik akan berdampak pada biaya produksi tinggi akibat kenaikan harga dan kelangkaan input terutama imported inputs.
Menurutnya, diperlukan kebijakan industri yang tepat untuk mendukung produktivitas industri prioritas nasional dan industri kecil-menengah.
"Terutama karena kita ketergantungan juga sangat besar terhadap impor input maka hal ini akan berdampak terhadap tadi biaya produksi dari sektor usaha dan dibutuhkan kebijakan-kebijakan yang memang tepat untuk meningkatkan produktivitas di industri terutama industri prioritas nasional kita dan industri menengah dan kecil," katanya.
Sementara di sektor fiskal, perlu juga dilakukan kebijakan perdagangan luar negeri yang ditujukan kawasan yang tidak terpengaruh perang atau konflik maupun negara tujuan non tradisional. Hal ini mengantisipasi agar Indonesia tidak terpengaruh adanya kondisi geopolitik global.
"Kita mungkin arahnya nanti akan lebih tidak ke arah yang kawasan, yang mungkin memiliki risiko perang dan konflik yang tinggi gitu ya. Jadi kita fokus bisa ke Asia Pasifik Indo Pasifik, Jepang China Korea Selatan ASEAN dan India. dan ini dan untuk negara-negara tujuan ekspor itu juga bisa kita terus ya mencari bagaimana ke arah negara-negara tujuan yang non tradisional," ujarnya.