REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Mahkamah Agung (MA) Muhammad Syarifuddin mengingatkan pentingnya profesi hakim. Syarifuddin menekankan agar seseorang yang terpilih menjadi hakim tak main-main dalam menjalankan tugasnya.
Hal itu disampaikan Syarifuddin saat membuka Diklat 1 Program Pendidikan Calon Hakim (PPCH) gelombang 2 pada di Kampus MA, Bogor, Jawa Barat. Kegiatan ini diikuti oleh 482 calon hakim yang terdiri atas 324 peserta dari Peradilan Umum, 123 peserta dari Peradilan Agama, dan 35 peserta dari Peradilan Tata Usaha Negara. Peserta akan mengikuti pelatihan hingga enam minggu ke depan.
Syarifuddin menyebut diklat ini merupakan titik awal dari proses penempaan diri selaku seorang penegak keadilan. Menurutnya hakim adalah figur sentral dalam proses penegakan hukum. Hitam putihnya hukum di negeri ini, salah satunya ditentukan oleh ketukan palu hakim.
"Untuk menjadi seorang hakim harus didasarkan pada panggilan nurani, harus lahir dari niat yang murni untuk menegakkan keadilan di muka bumi," kata Syarifuddin dal keterangannya pada Ahad (21/4/2024).
Tentunya, setiap pilihan pasti ada konsekuensinya, termasuk menjadi hakim. Untuk itu, Syarifuddin berpesan profesi ini harus dijalani dengan serius.
"Ketika saudara telah memutuskan untuk menjadi seorang hakim, saudara harus meyakini bahwa profesi ini adalah pilihan saudara, sekaligus jalan yang telah dipilihkan Tuhan untuk saudara. Karena itu tidak ada istilah 'saya hanya coba-coba', 'saya kebetulan lulus', dan lain sebagainya," ujar Syarifuddin.
Syarifuddin meminta para calon hakim menjadi hakim cerdas, berintegritas, jujur dan bersih, serta tidak akan mengkhianati kepercayaan yang telah diamanahkan Tuhan kepada mereka. Ia menyebut 482 orang tersebut telah terpilih untuk mengemban amanah mulia.
"Kelak, ketika saudara diangkat menjadi hakim, saudara harus betul-betul menjadi hakim yang profesional dan berintegritas," ujar Syarifuddin.
Syarifuddin menekankan profesionalitas dan integritas adalah dua hal mutlak yang harus dimiliki seorang hakim. Sebab integritas tanpa profesionalitas adalah kerapuhan, sedangkan profesionalitas tanpa integritas akan menjadi sumber terjadinya malapetaka.
"Profesionalitas bisa dibangun dengan pengetahuan yang diperoleh dari belajar dan membaca, sedangkan integritas harus diinsyafi dan ditekadkan dalam hati, kemudian dilakukan dalam setiap tindakan dan perbuatan," ujar Syarifuddin.
Di sisi lain, terkait integritas hakim, Majelis hakim memutuskan Sekertaris MA nonaktif Hasbi Hasan terbukti bersalah di kasus suap penanganan perkara. Atas dasar itulah, Hasbi Hasan yang juga berstatus hakim dipandang Majelis hakim layak diganjar sanksi pidana berupa pemenjaraan selama enam tahun.
Selain hukuman penjara, Hasbi Hasan diputuskan wajib membayar denda sebesar Rp 1 miliar subsider kurungan pengganti selama 6 bulan. Berikutnya, Hasbi Hasan juga disanksi pidana tambahan untuk membayar uang pengganti sebesar Rp 3.880.844.000.400.
Atas perbuatannya, Hasbi terbukti melanggar Pasal 12 huruf a dan Pasal 12 huruf B Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Diketahui, hukuman ini jauh lebih ringan dari tuntutan Jaksa KPK. Semula, Hasbi Hasan dituntut hukuman penjara selama 13 tahun dan 8 bulan. Hasbi Hasan diyakini Jaksa KPK bersalah dalam kasus suap penanganan perkara di MA.