REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim konstitusi Arief Hidayat menjelaskan bahwa Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) telah menyatakan bahwa Ketua dan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan pelanggaran kode etik berat. Pelanggaran tersebut diakibatkan oleh KPU yang tidak segera melakukan perubahan peraturan setelah adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Ia menjelaskan, DKPP menilai KPU tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu dan bertentangan dengan ketentuan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Sebagai konsekuensinya, terjadi pelanggaran etik yang berujung pada penjatuhan sanksi peringatan keras.
"Namun demikian, tanpa Mahkamah bermaksud menilai putusan yang dikeluarkan oleh DKPP, terhadap putusan DKPP tersebut merupakan kewenangan DKPP untuk memeriksa mengenai dugaan pelanggaran etik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu," ujar Arief dalam dalam sidang putusan gugatan pemilihan presiden (Pilpres) 2024, Senin (22/4/2024).
Lanjutnya, DKPP hanya mempersoalkan tindakan KPU yang tidak segera menyusun rancangan perubahan PKPU Nomor 19 Tahun 2023 sebagai tindak lanjut Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023,. Ia menilai, DKPP bukan mempersoalkan atau membatalkan pencalonan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
"Substansi putusan mengenai pelanggaran etik tersebut tidak serta merta dapat dijadikan alasan bagi Mahkamah untuk membatalkan hasil verifikasi dan penetapan pasangan calon yang telah ditetapkan oleh termohon (KPU)," ujar Arief.
"Sah atau tidaknya penetapan tersebut dan tindakan termohon dalam melaksanakan verifikasi pasangan calon telah dinilai Mahkamah dalam pertimbangan-pertimbangan hukum di atas. Terlebih setelah penetapan tidak ada satupun pasangan calon yang mengajukan keberatan terhadap penetapan pasangan calon nomor urut 2, termasuk juga dalam hal ini pemohon (Anies-Muhaimin)," sambungnya.