REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Afifuddin Muhajir menyampaikan penjelasan ihwal pandangan Islam terhadap tradisi syawalan di berbagai daerah. Dia mengungkapkan beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Tradisi syawalan adalah wujud rasa syukur kepada Allah atas limpahan rezeki dan karunia-Nya setelah melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadhan serta sebagai syukuran di bulan Syawal.
Ada ragam tradisi syawalan di berbagai wilayah. Misalnya di Kota Batu Malang, yang disebut dengan tradisi Grebeg Kupat, berupa pawai yang meriah dengan menampilkan gunungan ketupat raksasa dan berbagai hasil bumi dari berbagai daerah di Kota Batu.
Di Solo Jawa Tengah, tradisi syawalan dilakukan berupa Grebeg Syawalan, di mana gunungan ketupat diarak untuk dibagikan kepada pengunjung. Sementara di Karimunjawa, Jepara Jawa Tengah, warga menyantap bersama hidangan ketupat dan lepat dalam tradisi Kupatan Syawalan di tepi pantai Dusun Legon Cikmas.
Tradisi tersebut rutin digelar serentak di wilayah yang mayoritas warganya berprofesi sebagai nelayan sepekan setelah Idul Fitri itu sebagai wujud rasa syukur masyarakat kepada Tuhan atas limpahan rezeki serta keselamatan ketika melaut. Adapun di Kabupaten Rembang, syawalan dilakukan oleh para nelayan, di mana mereka melarung kapal replika satu pekan setelah Hari Idul Fitri.
Lantas bagaimana pandangan Islam terhadap tradisi tersebut? Kiai Afifuddin menjelaskan bahwa syukuran atau tasyakuran atau ungkapan syukur kepada Allah SWT atas terhindarnya dari marabahaya memang dianjurkan dalam Islam.
Ungkapan rasa syukur tentu...