REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat tata kota dari Universitas Trisaksi Yayat Supriatna menilai penonaktifan Nomor Induk Kependudukan (NIK) warga yang berdomisili luar Jakarta dapat mengurangi beban ekonomi kota tersebut. Yayat mengatakan bahwa banyak warga Jakarta yang kini sudah tinggal di kota-kota penyangga, seperti Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Bodetabek), namun masih menikmati fasilitas yang diberikan Pemerintah Provinsi Jakarta.
"Kalau jadi daerah khusus, beban ekonomi (Jakarta) terkait jasa, fasilitas bansos, pendidikan hingga kesehatan yang angkanya hampir Rp12 triliun-Rp18 triliun bisa berkurang," kata Yayat dalam diskusi daring Forum Merdeka Barat 9 bertajuk UU DKJ: Masa Depan Jakarta Pasca Ibu Kota yang disaksikan di Jakarta, Senin (22/4/2024).
Yayat merinci bahwa saat ini dari 12 juta penduduk Jakarta, hanya sembilan juta penduduk yang benar-benar menetap di Jakarta. Sedangkan, sisanya sebanyak tiga juta penduduk sudah tinggal di luar Jakarta sebagai komuter.
Sejak tahun 1990-an, warga Jakarta mulai berpindah ke kota-kota penyangga, seperti Bodetabek karena rumah semakin sulit didapat dan harga tanah semakin mahal. Selain itu, Jakarta merupakan kota dengan biaya hidup termahal di Indonesia.
Karena itu, Yayat mengapresiasi kebijakan penonaktifan NIK warga Jakarta yang diajukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta ke Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 470/7256/SJ tanggal 27 Desember 2021 tentang Pindah Datang Penduduk mengamanatkan bahwa warga yang sudah berdomisili lebih dari setahun harus mengurus kepindahannya.
Penghapusan NIK warga yang tidak lagi tinggal di Jakarta oleh Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) DKI dinilai bermanfaat untuk jangka panjang. Hal itu karena dokumen warga Jakarta dan data pemilih pilkada menjadi lebih akurat serta penyaluran bantuan sosial (bansos) tepat sasaran.