REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelintasan sebidang menjadi tantangan bagi perkeretaapian Indonesia. Berdasarkan data Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat setidaknya 1.142 kecelakaan kereta pada pelintasan sebidang pada kurun 2019 hingga 2022.
PT KAI Commuter Indonesia (KCI) pun memahami kondisi tersebut menjadi tantangan dalam mewujudkan perjalanan kereta commuter line atau KRL yang aman dan tepat waktu. Direktur Operasi dan Pemasaran KCI Broer Rizal mengatakan KCI tidak bisa bekerja sendiri untuk mengatasi persoalan tersebut.
"Pelintasan sebidang memang jadi dilematis buat kami, karena dengan frekuensi yang cukup banyak, ternyata di lapangan masih banyak pelintasan sebidang yang kadang dilakukan secara sadar oleh warga," ujar Rizal saat konferensi pers masa angkutan lebaran KAI Commuter 2024 di Jakarta, Selasa (23/4/2024).
Rizal mengatakan banyak warga yang sengaja membuat pelintasan untuk menciptakan akses jalan yang lebih cepat. Namun, ucap Rizal, hal ini memiliki konsekuensi yang dapat membahayakan kereta maupun masyarakat yang melintasi pelintasan tersebut.
Rizal mengatakan, KCI secara intens melaporkan kepada induk usaha, PT Kereta Api Indonesia (KAI) terkait keberadaan pelintasan sebidang yang dibuat masyarakat. KAI, lanjut Rizal, akan berkoordinasi dengan kepolisian dan Dinas Perhubungan (Dishub) setempat untuk menindaklanjuti pelintasan tersebut.
"Yang paling ekstrem penutupan dan ada juga sosialisasi sehingga penutupan tidak perlu dilakukan secara paksa oleh tim KAI, tapi secara sadar oleh warga yang membuat pelintasan sebidang," ucap Rizal.
Rizal mengapresiasi masyarakat yang secara swadaya memberikan palang pintu dan menjaga pelintasan sebidang. Namun, Rizal mengimbau masyarakat untuk tidak lengah.
"Kalau penjaga tidak bisa 24 jam, misal saat malam hari, tolong palang pintunya ditutup. Jangan sampai tidak ada yang jaga lalu palang pintu tidak ditutup, ini jadi bumerang bagi warga yang kebetulan sedang melewati pelintasan tersebut," kata Rizal.
Sebelumnya, VP Public Relations KAI Joni Martinus mengatakan kecelakaan yang melibatkan kereta api dengan kendaraan lain di pelintasan sebidang sangat merugikan karena dapat membuat sarana kereta api menjadi rusak bahkan tidak sedikit yang mengalami luka-luka bahkan memakan korban jiwa. Pada periode 2023 hingga Maret 2024, ucap Joni, telah terjadi 414 kasus kecelakaan di pelintasan sebidang dengan rincian 124 meninggal dunia, 87 luka berat, dan 110 luka ringan.
"Kereta api memiliki jalur tersendiri dan tidak dapat berhenti secara tiba-tiba sehingga pengguna jalan harus mendahulukan perjalanan kereta api. Seluruh pengguna jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api saat melalui pelintasan sebidang," ujar Joni pada Jumat (12/4/2024).
Joni mengatakan hal tersebut sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 124 dan UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 114. pada UU Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Pasal 124 menyatakan yaitu, pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api.
Kemudian pada UU 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Pasal 114 menyatakan yaitu, pada pelintasan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pengemudi kendaraan wajib: berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai di tutup dan atau ada isyarat lain, mendahulukan kereta api, dan memberikan hak utama kepada kendaraan yang lebih dahulu melintas rel.
"Banyak yang beranggapan KAI bertanggung jawab untuk menyediakan palang beserta rambunya di setiap pelintasan sebidang. Namun, hal tersebut bukanlah tanggung jawab KAI," ucap Joni.
KAI, lanjut Joni, hanya bertindak sebagai operator dan tidak memiliki kewenangan secara hukum untuk memasang palang pelintasan atau mengubahnya menjadi tidak sebidang seperti flyover maupun underpass. Joni mengatakan sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan No 94 Tahun 2018 pasal 2, pengelolaan pelintasan sebidang tersebut dilakukan oleh penanggung jawab jalan sesuai klasifikasinya.
"Menteri untuk jalan nasional, Gubernur untuk jalan provinsi, Bupati/Walikota untuk jalan kabupaten/kota dan jalan desa, serta badan hukum atau lembaga untuk Jalan khusus yang digunakan oleh badan hukum atau lembaga," sambung Joni.
Joni menyampaikan peran pemerintah pusat ataupun daerah sangat diperlukan untuk mengurangi kejadian kecelakaan di pelintasan sebidang. KAI juga mendorong pemerintah untuk membuat pelintasan yang aman sesuai regulasi atau menutup pelintasan liar yang dapat membahayakan perjalanan kereta api dan keselamatan bersama.
"Dari 2023 hingga Maret 2024, KAI mencatat bahwa terdapat 1.514 pelintasan sebidang yang dijaga dan 2.556 pelintasan yang tidak dijaga," lanjut Joni.
Selama periode yang sama, KAI telah menutup 157 pelintasan sebidang dengan tujuan untuk normalisasi jalur dan peningkatan keselamatan perjalanan kereta api. KAI, lanjut Joni, terus berkolaborasi dengan para pemangku kepentingan setempat dan para pecinta kereta dengan konsisten bersama-sama melakukan sosialisasi keselamatan di pelintasan sebidang kepada masyarakat pengguna jalan untuk tidak melanggar dan patuh terhadap aturan untuk mendahulukan perjalanan kereta api.
"KAI meminta masyarakat berhati-hati saat akan melintasi perlintasan sebidang jalan raya dengan jalur kereta api. Pastikan jalur yang akan dilalui sudah aman, tengok kanan dan kiri, serta patuhi rambu-rambu yang ada," kata Joni.
Joni mengimbau seluruh unsur masyarakat, pemerintah, lembaga, organisasi lebih peduli serta lebih perhatian terhadap keselamatan di pelintasan sebidang. Joni berharap semua pihak dapat berperan aktif dalam meningkatkan keselamatan di perlintasan sebidang, demi keamanan bersama.