KINGDOMSRIWIJAYA – Mendapat pesan dari seorang teman yang bertanya, “Bro kenapa pada Hari Buku sedunia tahun ini tidak ada artikelnya? Kalau ada kirim dong link-nya”. Akhirnya saya penuhi permintaannya, walau terlambat satu hari.
Memang pada peringatan Hari Buku Sedunia tahun 2024 saya tidak menulis artikel seperti peringatan tahun-tahun yang lalu. Saya intip di halaman media sosial beberapa penulis buku yang saya kenal, mereka juga ternyata absen menulis opini atau artikel yang bertopik tentang buku atau hari buku.
Dua penulis top Indonesia yang saya kenal Gol A Gong (Duta Baca Indonesia) dan Benny Arnas (novelis dari Lubuklinggau), di laman media sosial mereka, ternyata mereka sedang melakukan aktivitas yang berkaitan dengan literasi dan buku.
Gol A Gong penulis novel Balada si Roy tengah menjalankan tugasnya sebagai Duta Baca Indonesia (DBI) bersama Perpustakaan Nasional (Perpusnas) ke beberapa daerah. Serta Benny Arnas yang telah menulis dan menerbitkan lebih dari 27 judul buku tengah berada di Leiden, Belanda juga tengah melaksanakan agenda literasi.
Gol A Gong di laman facebook-nya memasang poster berisikan, “Selamat Hari Buku Sedunia 23 April 2024. Mari merayakan Hari Buku Sedunia dengan membaca, membeli buku dan menulis! Membaca buku membuatmu seolah sedang di puncak gunung dan melihat semua yang ada di bawah sana menantang untuk dijelajahi”.
Dua sahabat penulis lainnya, Zulkarnain Zubairi atau Udo Z Karzi yang ada di Bandarlampung dan Yurnaldi atau Nal yang bermukim di Padang, keduanya adalah wartawan yang sudah menulis dan menerbitkan banyak buku menyampaikan ucapan selamat “Hari Buku Sedunia” di laman Facebook mereka.
Udo menulis, “Konon, jumlah penulis dan judul buku banyak sekali di negeri ini. Bikin buku pun mudah, murah, dan bisa siapa saja. Masalahnya, buku banyak itu tak mudah mendapatkan pembacanya. ... Apa pun, semoga kami tak kapok menulis buku. ... Selamat Hari Buku Sedunia 23 April 2024”.
Nal menulis sebuah catatang cukup panjang. Tulisnya: “Benar kata Pak Jakob Oetama (alm) bahwa buku adalah “Mahkota Wartawan”. Saya ketika masih mahasiswa, aktivis pers kampus, sudah menulis buku jurnalistik dan buku lainnya. Dua buku jurnalistik jadi modal dan nilai plus saat diterima bergabung dengan Kompas tahun 1995”.
Yurnaldi kemudian menulis, “Sama halnya dengan pernyataan Pak JO, pendiri Kompas, bahwa ‘Buku adalah Mahkota Wartawan’, seolah menawarkan tantangan bahwa jika wartawan ingin mendapatkan mahkota, maka tulislah buku. Jadi tak cukup hanya dengan menulis karya jurnalistik saja. Bukti mendapatkan “Mahkota” begitu sulit, dari sekitar 40.000 wartawan, sedikit sekali atau berbilang jari tangan wartawan yang menulis buku”. (Catatan lengkap bisa dibaca di FB Yurnaldi Paduka Raja).
Dari empat sahabat yang menjadi penulis tersebut, tiga diantaranya pernah berkutat sebagai wartawan. Gol A Gong pernah bergabung dengan Majalah Hai dan media lainnya. Udo Z Karzi memulai karirnya sebagai wartawan sejak mahasiswa di Fisip Universitas Lampung sebagai aktivis pers mahasiswa Surat Kabar Mahasiswa (SKM) Teknokra.
Sedangkan Yurnaldi yang pernah bergabung sebagai wartawan Kompas juga memulai kebiasaannya menulis sejak mahasiswa saat bergabung di SKM Ganto IKIP Padang sekarang Universitas Negeri Padang (UNP).
Dari tiga sahabat yang menjadi wartawan tersebut, selain melakukan liputan ke lapangan pulang ke kantor redaksi untuk menulis berita, juga mendatangi perpustakaan. Wartawan selain harus dekat dengan nara sumber, ternyata juga harus akrab dengan perpustakaan. Selain perpustakaan umum, di setiap perusahaan media massa memiliki perpustakaan atau dokumentasi.
Kapan mereka atau sahabat wartawan itu datang ke perpustakaan? Mereka akan datang setiap saat, mungkin setiap hari. Apa lagi jika akan atau sedang menulis artikel, maka wartawan datang ke perpustakaan melakukan riset berbagai data atau informasi dari buku, surat kabar atau majalah yang ada di perpustakaan.
Tanyakan kepada wartawan yang anda kenal, “Kapan terakhir anda datang ke perpustakaan yang ada di kantor atau ke perpustakaan umum?” Jangan-jangan dalam satu tahun hanya satu kali berkunjung ke perpustakaan. Dari wartawan seperti itu, bagaimana pembaca bisa berharap membaca artikel atau tulisan bernas yang mencerahkan?
Pusdok Republika
Pusdok Republika termasuk dalam klasifikasi sebagai perpustakaan khusus. Mengutip Sri Sumekar dalam “Standar Perpustakaan Nasional” (2002) perpustakaan khusus adalah perpustakaan yang diselenggarakan oleh instansi baik pemerintah maupun swasta yang dibentuk dalam rangkaian sistem manajemen khusus, yaitu bertujuan untuk membantu tugas badan induknya.
Tujuan perpustakaan khusus adalah: a. Menunjang program lembaga induk; b. Menunjang penelitian lembaga induk; c. Menggalakan minat baca di lingkungan unit kerja lembaga induk; dan d. Memenuhi kebutuhan pemustaka di lingkungan perpustakaan.
Selain tujuan tersebut, perpustakaan khusus memiliki ciri tertentu yang berbeda dengan perpustakaan umum. Ciri tersebut diantaranya menurut Sulistyo Basuki dalam “Pengantar Ilmu Perpustakaan” adalah memiliki buku terbatas, keanggotaan yang terbatas, tekanan koleksi bukan pada buku (dalam arti sempit), melainkan pada majalah, pamflet, laporan penelitian dan lainnya.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut yang termasuk dalam kelompok perpustakaan khusus adalah: perpustakaan departemen/ kementerian dan non kementerian, perpustakaan bank, perpustakaan surat kabar dan majalah, perpustakaan industri dan badan komersil, perpustakaan penelitian dan lembaga ilmiah, serta perpustakaan perusahaan.
Jadi jika ada wartawan atau jurnalis yang tidak akrab dengan perpustakaan atau tidak pernah berkunjung ke perpustakaan, maka dapat dikatakan wartawan itu tergolong miskin pengetahuan dan informasi. Walau ada membela diri, untuk mencari referensi atau informasi kan bisa berselancar di dunia maya dengan menggunakan mesin pencari yang ada.
Menggunakan internet dengan memanfaatkan mesin pencari, memang terasa memudahkan kerja seorang wartawan. Namun waspada seperti ditulis Bagja Hidayat wartawan Tempo dalam sebuah artikelnya, “Internet mengkhawatirkan karena ia memudahkan hal-ihwal. Internet membuat cemas karena telah membuat kita malas”.
Menurut Bagja, wartawan dulu, jika akan menulis, cuma mengandalkan bahan-bahan yang dicetak. Wartawan itu harus berkutat di perpustakaan, membaca banyak buku-tentu saja tidak dengan sambil lalu-untuk mencari perspektif dari apa yang akan ia tulis. Ia menandai bahan-bahan penting, lalu menyusunnya agar mudah ditemukan ketika proses menulis dimulai. Pendeknya, menulis adalah sebuah kerja yang militan.
Intellectual Action
Pada momen peringatan Hari Buku Sedunia 2024, masih adakah ditemukan wartawan yang datang ke perpustakaan lalu meminjam beberapa judul buku sesuai dengan kebutuhan dan kembali ka kantor redaksi tempatnya bekerja, meletakan buku tersebut di atas meja kerjanya, lalu membacanya. Mungkin sudah jarang dijumpai pemandangan seperti itu.
Bagaimana seorang wartawan bisa menulis atau menerbitkan sebuah buku jika tidak pernah terlihat datang ke pustakaan atau ke toko buku kemudian membaca buku. Menulis buku bagi seorang wartawan seperti menurut Jakob Oetama “Buku adalah mahkota wartawan”.
Seorang jurnalis atau wartawan adalah intellectual in action. Jadi menulis atau menerbitkan buku bagi wartawan adalah simbol intelektualitas. Istilah kuli tinta atau kuli flashdisk dan gadget tidak pantas dilekatkan pada seorang jurnalis atau wartawan.
Bagi seorang wartawan sebagai pemustaka berkunjung ke perpustakaan bisa saja untuk sekedar membaca, atau memanfaatkan perpustakaan dengan berbagai koleksi untuk menunjang atau memperkaya informasi artikel atau berita yang akan ditulis. Dengan memanfaatkan perpustakaan juga bisa meningkatkan produktifitas wartawan dalam menulis berita atau artikel.
Jadikan perpustakaan umum atau perpustakaan khusus yang ada sebagai bagian pusat data untuk menunjang tugas seorang wartawan atau jurnalis. Boleh juga seorang wartawan kelak waktu menjadi pustakawan, dan itu ada wartawan menjadi pustakawan seperti ditulis wartawan senior Parni Hadi dalam tulisan berjudul “Soebagijo IN : Sejarawan Pers Indonesia” (2014)
Parni Hadi yang pernah menjabat Pemimpin Redaksi Republika, Direktur Utama Antara dan Direktur Utama LPP RRI menulis, Soebagijo Ilham Notodijojo yang menulis namanya Soebagijo IN Djamaludin Adinegoro dan Gusti Emran pernah diundang menghadiri Sidang Umum PBB tahun 1957. Kemudian menjadi kepala perwakilan Antara di Beograd, ibu kota Yugoslavia, tahun 1966-1968. Sepulang dari Beograd, ia menjadi Kepala Bagian Perpustakaan, Riset, dan Dokumentasi Antara sampai pensiun tahun 1981.
Menurut Parni Hadi, salah satu nasihat Pak SIN (singkatan namanya/ nama pena) kepada wartawan-wartawan muda yang selalu saya ingat adalah: “Jangan hanya menjadi wartawan, tapi juga pengarang buku”.
Selamat Hari Buku Sedunia. (maspril aries)