SumatraLink.id -- Sulthan Muhammad Al Fatih bisa tersenyum, bila masih hidup. Penakluk Konstatinopel itu bangga Presiden Turki Erdogan mengembalikan fungsi bangunan di Hagia Sophia (Aya Sophia) dari museum zaman Presiden Turki pertama Mustafa Kemal Ataturk pada 1934 menjadi masjid pada 11 Juli 2020.
Masjid itu menjadi wakaf Al Fatih untuk umat Muslim dunia, setelah berhasil menaklukkan wilayah Konstantinopel, yang saat itu kaisar Byzantium memiliki pasukan, peralatan perang canggih, dan benteng yang berlapis-lapis, yang secara nalar sulit ditembus dan dikalahkan.
Berita pengalihan museum Hagia Sophia beralih masjid menjadi kabar gembira umat Muslim se-dunia. Perjuangan hebat Al Fatih dan pasukannya saat itu seakan terulang kembali semangatnya di zaman ini. Melalui perjuangan hukum yang panjang akhirnya Erdogan mampu mengembalikan museum menjadi masjid.
Siapa yang tidak mengenal Sulthan Muhammad Al Fatih, anak muda dan pasukan tangguhnya yang mampu menaklukan Konstantinopel. Dialah yang menjadi orang yang dapat mewujudkan apa yang telah Nabi Muhammad Sholallahualaihi wassalam (SAW) sabdakan tujuh abad lalu, dalam menaklukkan Konstantinopel.
Setelah membolak-balik beberapa literatur tentang Al Fatih, saya menemukan sosok yang kuat membuat Al Fatih tegar menghadapi pasukan lawannya. Selain karena pertolongan Allah yang Maha Kuasa, dan kekuatan fisik dan ibadahnya, Al Fatih mendapatkan murobbi (guru) yang tangguh sebagai pengampunya. Kisah menarik yang dapat dipetik Al Fatih pada gurunya, tatkala ia naik pitam.
Muhammad bin Hamzah Ad-Dimasyqi Ar-Rumi atau dikenal Syaikh Aaq Syamsuddin (792H/1389 M – 1459 M), gurunya. Usia tujuh tahun dia sudah hafal Alquran. Ia dikenal menguasai banyak ilmu, selain agama juga ilmu tumbuh-tumbuhan (botani).
Aaq tiba di Romawi, setelah diajak orangtuanya dari Damaskus. Beliau diketahui masih memiliki nasab (keturunan/silsilah) Abu Bakar Assidiq (khalifah kedua). Al Fatih banyak mendapat dan menyerap ilmu dari Aaq, termasuk ilmu pemerintahan/negara.
Saat datang kapal dan alutsista dari Eropa, pasukan Kekaisaran Byzantium yang masih dikuasai Romawi gembira dan semangat untuk berperang, dan pasukan Islam (Daulah Utsmaniyah) yang komandannya Al Fatih mulai ciut.
Pasukan Byzantium mengalami kemenangan dan semangat pasukannya meningkat dengan datangnya empat kapal perang tambahan mereka dari sekutunya. Penaklukkan kota Konstantinopel (Ankara, ibukota Turki sekarang) menjadi pembahasan sengit pasukan Daulah Utsmani.
Dua kali Al Fatih mengutus menterinya menghadap murobbinya, untuk mencari solusi dalam menghadapi pasukan Byzantium yang canggih tersebut. Menteri utusan kedua Al Fatih hanya membawa surat penting dari murobbi kepada muridnya Al Fatih.
“Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang memberikan kemuliaan, dan kemenangan. Bagi beberapa orang Muslim, kedatangan bantuan kapal perang itu telah menimbulkan patah hati dan cercaan. Sebaliknya bagi orang-orang kafir peristiwa tersebut menimbulkan perasaan senang dan gembira.
“Yang pasti, seorang hamba hanya bisa merencanakan, Allah-lah yang menentukan. Keputusan ada di tangan Allah. Kita telah berserah diri kepada Allah dan telah membaca Alquran. Semua itu tidak lain adalah seperti rasa kantuk. Kelembutan Allah ta’ala telah terjadi sehingga muncullah berita-berita gembira yang belum pernah terjadi sebelumnya,” tulis sang murobbi dalam sepucuk suratnya kepada Al Fatih.
Kabar berita dari Murobbi membuat Al Fatih dan pasukkannya mulai tenang. Mereka semangat melanjutkan perang melawan pasukan Byzantium di Konstantinopel. Sebelum menaklukkan Konstantinopel, Al Fatih mendatangi gurunya di kemah. Sembari mencium tangan gurunya, Al Fatih memohon gurunya dapat mengajari doa agar Allah memberi taufik kepadanya. Gurunya mengajarinya. Setelah itu, ia memerintahkan pasukan menyerang musuh.
Tapi, sebelum itu, di hadapan pasukannya, dia berharap gurunya bersamanya berperang. Al Fatih mengutus orangnya ke kemah gurunya. Tapi, gurunya berpesan pada pengawalnya dilarang ada orang lain masuk kemahnya. Gagallah utusan Al Fatih untuk mengajak gurunya berperang.
Al Fatih marah. Ia beranjak dari tempatnya dan mendatangi kemah gurunya tersebut. Penjaga kemah Syaikh Aaq Syamsuddin, tetap mencegah dan melarang Sulthan Al Fatih masuk kemahnya. Kemarahannya meningkat, Al Fatih mengeluarkan sebilah belati dan menyanyat bagian dinding kemah. Apa yang dilihatnya di dalam kemah?
Sang guru sedang bersujud di tanah sangat lama. Sorban gurunya terlepas dari kepala, rambutnya yang putih terurai di tanah. Jenggotnya yang putih juga menyentuh tanah. Al Fatih tertegun kaku. Kemarahannya mencair.
Setelah Al Fatih menunggu lama, akhirnya, sang guru bangkit dengan air mata yang bercucuran deras masih terlihat di pipinya. Sang guru bermunajad kepada Allah SWT agar peperangan Al Fatih dan pasukannya Allah turunkan pertolongan dan berikan kemenangan dalam waktu dekat.
Setelah itu, pasukan Islam menyerang dan menembus parit, pagar, dan tembok-tembok benteng pertahanan musuh di Konstantinopel dari berbagai arah. Akhirnya, pasukan Daulah Utsmani pimpinan Al Fatih menguasai kota Konstantinopel. Bangunan Hagia Sophia dikuasai Al Fatih dan mewakafkan untuk umat Islam sebagai masjid. Bertindak sebagai khotib dan imam pertama Shalat Jumat gurunya tadi.
Sulthan Muhammad Al Fatih berkata, “Kegembiraanku bukan karena penaklukkan kota Konstantinopel. Akan tetapi, kegembiraanku karena adanya LAKI-LAKI (gurunya) ini pada zamanku.” Barokumullah Al Fatih beserta pasukan dan murobbi-nya. (Mursalin Yasland)