Kamis 25 Apr 2024 08:25 WIB

Tiga Warga Meninggal Akibat DBD di Astanajapura Cirebon

Sosialisasi pencegahaan DBD mulai digencarkan bahkan melalui pengumuman mushala.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Agus raharjo
Tenaga kesehatan mengecek kondisi kesehatan pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) di RSUD Taman Sari, Jakarta, Selasa (16/4/2024). Sebanyak 14 pasien kasus DBD dirawat di rumah sakit tersebut yang mayoritas 70 persen pasiennya merupakan anak-anak usia SD dan SMP. Peningkatan kasus DBD dimulai sejak Desember 2023 hingga mencapai puncaknya pada April 2024  yang diakibatkan musim hujan yang meningkatkan kelembapan udara sehingga nyamuk mudah berkembang biak.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Tenaga kesehatan mengecek kondisi kesehatan pasien Demam Berdarah Dengue (DBD) di RSUD Taman Sari, Jakarta, Selasa (16/4/2024). Sebanyak 14 pasien kasus DBD dirawat di rumah sakit tersebut yang mayoritas 70 persen pasiennya merupakan anak-anak usia SD dan SMP. Peningkatan kasus DBD dimulai sejak Desember 2023 hingga mencapai puncaknya pada April 2024 yang diakibatkan musim hujan yang meningkatkan kelembapan udara sehingga nyamuk mudah berkembang biak.

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON – Kasus demam berdarah dengue (DBD) mengancam warga di wilayah Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon. Puluhan warga terjangkit penyakit itu sejak awal tahun, tiga diantaranya meninggal dunia.

Kepala Puskesmas Sidamulya, Kecamatan Astanajapura, Poedjo Wardojo, menyebutkan, sejak Januari sampai April ini, terdapat 24 kasus DBD di wilayah kerjanya. Dari jumlah itu, tiga warga meninggal dunia. ‘’Dari tiga yang meninggal itu, dua anak-anak dan satu orang dewasa,’’ ujar Poedjo, Rabu (24/4/2024).

Baca Juga

Ketiga korban meninggal dunia itu masing-masing berasal dari Desa Sidamulya, Mertapada Kulon, dan Buntet, Kecamatan Astanajapura. Mereka meninggal di bulan April ini.

Poedjo mengatakan, pasien yang mengalami gejala DBD langsung dibawa ke rumah sakit. Namun, kemungkinan saat sampai di rumah sakit, kondisi mereka sudah dalam kondisi kritis.

Poedjo mengakui, dalam beberapa kasus menunjukkan kurangnya kesadaran orang tua dalam mengenali gejala DBD. Akibatnya, mereka terlambat membawa anaknya ke fasilitas kesehatan. ‘’Jadi mungkin setelah syok, pingsan atau mimisan, pasien baru dibawa ke rumah sakit,’’ tutur Poedjo.

Sementara itu, meningkatnya kasus DBD di Kecamatan Astanajapura, menggugah pemerintah kecamatan setempat untuk bergerak.

Camat Astanajapura, Suharto, mengatakan pihaknya mengundang semua Unit Pelaksana Teknis, termasuk seluruh kepala desa, untuk mensosialisasikan mengenai pencegahan dan penanganan DBD. ‘’Ini bukan kejadian biasa-biasa saja. Perlu penanganan bersama,’’ tegas Suharto.

Suharto menyatakan sosialisasi mengenai DBD mulai digencarkan. Bahkan, sosialisasi dilakukan secara door to door ke rumah-rumah warga serta pemberitahuan di masjid maupun mushala.

‘’Nanti juga sekalian ada pemberitahuan melalui selebaran agar masyarakat paham. Kita juga sudah siapkan call center dan tim dari tenaga kesehatan yang akan standby 24 jam,’’ tegas Suharto.

Jika misalnya di masyarakat ada yang terkena DBD, maka bisa segera melapor ke tingkat desa. Selanjutnya, laporan akan disampaikan ke puskesmas untuk segera dilakukan penanganan medis.

‘’Sosialisasi juga tidak hanya di lingkungan rumah, tapi di lingkungan sekolah. Karena bisa saja, gejala timbulnya di rumah tapi terkena kasusnya di sekolah,’’ tutur Suharto.

Suharto menambahkan, meski kasus DBD meningkat dan ada tiga warganya yang meninggal, namun pihaknya belum menyatakan status Kejadian Luar Biasa (KLB). Dia menyatakan, penetapan status KLB merupakan kewenangan dari dinas terkait.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement