Jumat 26 Apr 2024 15:46 WIB

Indonesia Bersama Sejumlah Negara Tolak Pemberlakuan EUDR

EUDR pertama kali diuraikan dalam Komunikasi Komisi 2019.

Rep: Iit Setyaningsih/ Red: Lida Puspaningtyas
Merespons Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa (EUDR/ European Union Deforestation Regulation), sejumlah elemen perwakilan petani sawit Indonesia menggelar aksi keprihatinan di Jakarta, Rabu (29/3/2023). Mereka menggelar orasi di depan kantor Kedutaan Uni Eropa di Jakarta.
Foto: Istimewa
Merespons Undang-Undang Deforestasi Uni Eropa (EUDR/ European Union Deforestation Regulation), sejumlah elemen perwakilan petani sawit Indonesia menggelar aksi keprihatinan di Jakarta, Rabu (29/3/2023). Mereka menggelar orasi di depan kantor Kedutaan Uni Eropa di Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengaturan Uni Eropa (UE) mengenai produk bebas deforestrasi atau The European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR) telah menimbulkan banyak kekhawatiran dan pertentangan dari berbagai kalangan dan negara. Itu karena, proses pembahasannya dinilai tidak melibatkan beberapa negara penghasil dari komoditas yang diatur dalam ketetapan EUDR tersebut yakni kayu (timber), sawit, kopi, kakao, soya bean, karet, dan cattle.

EUDR juga dinilai tidak memperhatikan kondisi kemampuan setempat seperti petani kecil, peraturan negara produsen yang berdaulat seperti ketentuan skema sertifikasi sawit yang berkelanjutan, hingga ketentuan mengenai perlindungan data pribadi. Setelah surat pertama yang ditandangani oleh 14 negara pada tanggal 27 Juli 2022, keberatan terhadap pemberlakuan EUDR kembali disuarakan oleh like-minded countries dalam surat yang ditandatangani oleh Dubes atau Perwakilan dari 17 negara pada 7 September 2023. 

Baca Juga

Like-minded countries berpandangan upaya penanganan isu deforestrasi dalam EUDR tidak mengatur prinsip yang lazim ada dalam kesepakatan multilateral yaitu principle of common but differentiated responsibilities, melakukan diskriminasi dan menghukum tujuh komoditas dalam EUDR. Juga berpotensi tidak sejalan dengan ketentuan World Trade Organization (WTO).

Indonesia bersama Malaysia juga menjadi negara yang turut menyuarakan keberatan terhadap kebijakan EUDR tersebut. Dipimpin oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dan Deputi PM Malaysia, yang merangkap sebagai Menteri Perladangan dan Komoditas Malaysia Fadillah Yusof, telah melakukan misi bersama (joint mission) ke Brussels pada bulan Mei 2023 lalu untuk bertemu dengan sejumlah tokoh penting di Komisi Eropa dan Anggota Parlemen Uni Eropa yang menangani ketentuan EUDR. 

Dalam kunjungan tersebut disampaikan mengenai keberatan dan potensi implikasi dari ketentuan EUDR tersebut apabila diterapkan. Sebagai tindak lanjut dari kunjungan ke UE tersebut, pihak UE sepakat untuk membentuk suatu mekanisme dialog yang diusulkan pihak Indonesia dan Malaysia dalam suatu wadah yang disebut Joint Task Force (JTF) untuk membahas berbagai concern dan kekhawatiran negara produsen terkait dengan rencana pelaksanaan EUDR yang akan mulai berlaku pada Januari 2025. 

Kick off meeting dari JTF tersebut telah dilakukan pada 4 Agustus 2023 dan pertemuan kedua telah dilakukan pada 2 Februari 2024. Dalam JTF itu terdapat lima fokus pembahasan mulai dari masuknya petani kecil dalam mata rantai pasokan komoditas, gap analysis antara ketentuan EUDR dengan standar nasional (ISPO dan MSPO), alat ketertelusuran yang dikembangkan di negara produsen (traceability tools), country benchmarking yang hingga kini belum tersedia metodologinya dan sumber data yg digunakan, hingga perlindungan data pribadi.

Pemerintah Indonesia juga tengah melakukan upaya lain dengan menyusun platform digital yang berupa National Dashboard untuk memperkuat rantai pasok pekebun rakyat dan industri komoditas-komoditas yang terdampak oleh kebijakan EUDR. Selain itu, sebanyak 27 Senator Amerika Serikat telah bersurat kepada Perwakilan Dagang Amerika Serikat Katherine Tai untuk menyatakan kekhawatiran tentang dampak negatif dari kebijakan EUDR, terutama bagi produsen pulp and paper Amerika Serikat.

Surat tersebut menyoroti persyaratan yang ketat dari EUDR, terutama mengenai traceability dan geolocation yang sulit dipenuhi oleh industri pulp and paper di Amerika Serikat. Para Senator itu meminta Katherine Tai terus berkomunikasi dengan pemangku kebijakan di UE dan mendorong UE untuk mengakui bahwa Amerika Serikat memiliki standar regulasi yang kuat untuk melindungi keberlanjutan hutan di Amerika Serikat. 

Respons Amerika Serikat menunjukkan kekhawatiran bahwa kebijakan EUDR sangatlah merugikan terutama bagi para petani dan merupakan kebijakan yang diskriminatif. Dari pihak UE sendiri, keberatan juga telah disampaikan oleh Asosiasi Utama Petani di Uni Eropa, Copa Cogeca, yang mengatakan ketidakmungkinan untuk dapat melaksanakan ketentuan dalam EUDR pada waktunya. 

Perlu diketahui, EUDR pertama kali diuraikan dalam Komunikasi Komisi 2019. Itu merupakan komitmen untuk menilai langkah regulasi dan non-regulasi sisi permintaan tambahan dan memastikan tingkat playing field dan pemahaman bersama tentang rantai pasokan bebas deforestasi, meningkatkan transparansi rantai pasokan, dan meminimalkan risiko deforestasi dan degradasi hutan yang terkait dengan impor komoditas ke UE.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement