Selasa 30 Apr 2024 06:15 WIB

Ukuran Kebahagiaan Berbeda-beda, Jangan Pakai Standar Orang Lain

Orang bisa mencapai bahagia tanpa syarat jika tak membandingkan kehidupannya.

Perempuan bersedih dan menangis (ilustrasi). Ukuran kebahagiaan tiap orang tentu berbeda-beda.
Foto: Republika/Prayogi
Perempuan bersedih dan menangis (ilustrasi). Ukuran kebahagiaan tiap orang tentu berbeda-beda.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat dianjurkan untuk menghentikan  kebiasaan mengukur kebahagiaan berdasarkan standar orang lain. Hal itu menjadi kunci untuk bisa mencapai bahagia tanpa syarat.

Psikiater dari RSUD Tarakan Jakarta, Zulvia Oktanida Syarif, menjelaskan, faktor penghambat kebahagiaan kerap berasal dari diri sendiri. Salah satunya ketika muncul tekanan dalam diri untuk bisa mencapai sesuatu dengan menjadikan kebahagiaan orang lain sebagai standar ukur.

Baca Juga

"Misalnya usia segini mestinya sudah menikah, usia sekian mestinya sudah bekerja. Kemudian kalau sudah menikah, mestinya sudah hamil, begitu. Jadi banyak sekali standar-standar sosial yang menjadi tekanan, itu akan menghambat orang menjadi bahagia," kata dr Zulvia yang akrab disapa dr Vivi dalam seminar edukasi yang digelar Dinas Kesehatan DKI Jakarta di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, Ahad (28/4/2024).

Sementara itu, dr Yenny Sinambela SpKJ(K) dari Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit Jakarta menjelaskan bahwa ukuran kebahagiaan orang lain tentu berbeda. Sebab, tiap manusia memiliki keunikannya sendiri-sendiri yang bisa dipandang sebagai kelebihan maupun kekurangan.

"Permasalahan muncul ketika kita menghadapi hal-hal yang di luar ekspektasi tertentu. Untuk merasa bahagia, seseorang mesti belajar untuk menerima kalau dirinya unik, sehingga bisa melihat sisi positifnya, tidak terpaku pada sisi negatifnya saja," kata dr Yenny.

Di era internet seperti sekarang, sangat mudah untuk memberikan ekspektasi-ekspektasi tertentu sebagai standar kebahagiaan. Alhasil, banyak sekali penghambat yang membuat seseorang merasa tidak bahagia.

Misalnya, flexing atau aktivitas pamer barang mewah atau hidup mewah lewat media sosial. Hal itu berdampak pada ukuran kebahagiaan menjadi berdasarkan materi. Padahal, kenyataannya tidak selalu seperti itu.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يٰبَنِيْٓ اٰدَمَ لَا يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطٰنُ كَمَآ اَخْرَجَ اَبَوَيْكُمْ مِّنَ الْجَنَّةِ يَنْزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْاٰتِهِمَا ۗاِنَّهٗ يَرٰىكُمْ هُوَ وَقَبِيْلُهٗ مِنْ حَيْثُ لَا تَرَوْنَهُمْۗ اِنَّا جَعَلْنَا الشَّيٰطِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ لِلَّذِيْنَ لَا يُؤْمِنُوْنَ
Wahai anak cucu Adam! Janganlah sampai kamu tertipu oleh setan sebagaimana halnya dia (setan) telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surga, dengan menanggalkan pakaian keduanya untuk memperlihatkan aurat keduanya. Sesungguhnya dia dan pengikutnya dapat melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.

(QS. Al-A'raf ayat 27)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement