REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tudingan manipulasi chart atau sajaegi yang menyeret nama grup K-Pop BTS kembali menyeruak belum lama ini. Tudingan ini muncul setelah sebuah media lokal di Korea Selatan, Kyunghyang, mendapatkan akses terhadap dokumen pengadilan di masa lalu.
Dokumen pengadilan ini berasal dari perseteruan hukum antara BigHit Music, agensi yang menaungi BTS, dengan seorang individu bernama Tuan A. Pada 2017, A didakwa dengan hukuman satu tahun penjara karena terbukti bersalah melakukan pemerasan dengan ancaman.
A mengancam akan mengungkapkan bukti sajaegi atau pemasaran ilegal yang diklaim dilakukan oleh BigHit Music, kecuali dia mendapatkan bayaran. Melalui ancaman ini, A berhasil mendapatkan 57 juta Won atau sekitar Rp 673 juta.
BigHit Music juga secara konsisten menyanggah tudingan telah melakukan sajaegi. Menurut BigHit Music, aktivitas pemasaran ilegal yang disebutkan oleh A dalam ancamannya merupakan klaim sepihak.
"Dan yang dia sebut sebagai pemasaran tak biasa sebenarnya merupakan standar pemasaran viral daring," ungkap BigHit Music kala itu, seperti dilansir Koreaboo.
BigHit Music turut menyatakan bahwa bayaran yang mereka berikan kepada A merupakan keputusan pribadi dari manajemen artis. Keputusan ini diambil untuk melindungi citra BTS, bukan untuk mengakui kesalahan bahwa mereka melakukan sajaegi.
Mengacu pada Pasal 26 dalam undang-undang mengenai promosi industri musik, sajaegi disebut sebagai tindakan membeli atau membuat orang lain membeli album musik demi meningkatkan angka penjualan. Sajaegi disebut sebagai tindak pidana yang dapat diberikan hukuman hingga dua tahun penjara atau denda hingga 20 juta won atau sekitar Rp 236 juta.