Selasa 30 Apr 2024 14:04 WIB

China Dinilai Jadi Tumpuan Industri Tenaga Angin Global

Laju pertumbuhan turbin di China dinilai berkembang sangat cepat.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Laju pertumbuhan turbin yang sangat cepat di China.
Foto: www.freepik.com
Laju pertumbuhan turbin yang sangat cepat di China.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama beberapa tahun terakhir, industri pembangkit listrik tenaga angin global telah terjebak dalam kelesuan. Dengan meningkatnya suku bunga dan biaya material yang menggerus margin keuntungan pengembang, serta para elit politik dan ekonomi yang tidak mendukung transisi energi, membuat instalasi turbin baru mengalami kemunduran.

Bahkan ketika industri kendaraan listrik (EV) dan tenaga surya semakin berkembang pesat, industri angin mengalami pembatalan proyek dan kegagalan lelang. Namun hal ini tampaknya akan segera berakhir.

Baca Juga

Kabar baik pertama, rekor 117 gigawatt (GW) turbin angin baru telah dipasang di seluruh dunia tahun lalu, menurut Global Wind Energy Council (GWEC). Angka tersebut merupakan laju pertumbuhan sebesar 50 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

GWEC menemukan bahwa tenaga angin menghasilkan hampir 2.500 terawatt-jam listrik pada tahun 2023, yang cukup untuk menyediakan hampir 90 persen daya listrik di Uni Eropa. Energi ini kemungkinan akan mengambil alih posisi nuklir sebagai sumber energi bersih terbesar di dunia (setelah pembangkit listrik tenaga air) dalam 12 bulan ke depan.

Saat ini, masalah utama yang dihadapi teknologi bersih adalah sebagian besar dunia sedang resah dengan apa yang dianggap sebagai kelebihan kapasitas di Cina. Laju pertumbuhan turbin yang sangat cepat di China, berarti dunia akan segera di lengkapi dengan jalur produksi untuk memproduksi semua panel surya, kendaraan listrik, dan baterai lithium-ion yang dibutuhkan.

Pertumbuhan industri angin di China mendorong Menteri Keuangan Amerika Serikat Janet Yellen dan Kanselir Jerman Olaf Scholz melakukan perjalanan ke Beijing selama dua pekan terakhir. Mereka mengeluhkan bahwa ambisi China tersebut bisa menekan harga dan menyisakan sedikit ruang bagi negara lain untuk membangun sektor teknologi bersih mereka sendiri.

Merespon sikap AS dan Jerman, analisis dari Bloomberg, David Fickling, menilai bahwa proteksionisme tersebut sangat keliru dari segi ekonomi dan hanya akan memperlambat transisi energi.

“Ini hal yang salah dari segi ekonomi. Kondisi industri angin di luar China menggambarkan alasannya. Jumlah instalasi di luar China pada tahun lalu hanya 41 GW meningkat 0,08 GW dibandingkan tahun 2020,” kata Fickling seperti dilansir Channel News Asia, Selasa (30/4/2024).

Di sisi lain, angin juga merupakan industri yang jauh lebih sulit untuk diperdagangkan melintasi batas negara. Berbeda dengan tenaga surya dan kendaraan listrik, yang dapat dibeli oleh individu dan bisnis non-energi, industri angin juga bergantung pada perilaku perusahaan listrik besar dalam menghadapi aturan yang mengganggu infrastruktur di negara-negara maju.

Pemasangan 117 GW tahun lalu hampir tidak lebih dari sepertiga dari 320 GW yang menurut perkiraan Badan Energi Internasional (IEA) harus tersambung setiap tahun pada 2030. Perkiraan GWEC saat ini adalah total armada turbin sebesar 2 terawatt pada tahun 2030 - hanya dua pertiga dari 3 TW yang dibutuhkan untuk mencapai net zero.

"Dari Eropa hingga Amerika, telah terjadi kekurangan investasi yang kronis dalam kapasitas rantai pasokan di masa depan. Para pelaku industri angin ragu-ragu untuk meningkatkan kapasitasnya karena ada keraguan akan tingkat permintaan di masa depan,” kata GWEC.

Di Amerika Serikat, rantai pasokan lokal sudah mengalami hambatan di hampir semua komponen kompleks ladang angin, dengan pengecualian hanya pada pelat baja dasar, tembaga dan beton, demikian laporan tersebut. Di Eropa, kekurangan yang sama akan mulai menyebar tahun ini dan tahun depan.

Hanya di Cina yang rantai pasokannya cukup untuk menjaga pertumbuhan angin tanpa hambatan. Hal ini membantah paranoia tentang ambisi teknologi bersih China yang terlihat dalam beberapa pekan terakhir. Jika kelebihan kapasitas yang diekspor China menghalangi AS dan Eropa untuk berinvestasi secara memadai dalam teknologi bersih, negara-negara kaya mungkin akan mengambil pendekatan yang jauh lebih agresif di satu sektor yang secara alami dilindungi dari impor.

“Sebaliknya, angin yang dilindungi oleh perdaganganlah yang tertinggal jauh dari seharusnya. Sejauh ada harapan di sekitar transisi energi saat ini, sebagian besar berkat ketersediaan produk Cina yang murah dan bersih yang tampaknya sangat ingin dikecualikan oleh pemerintah AS dan Eropa,” kata Flicking.

“Jika alat untuk mencegah pemanasan global dibangun dalam skala yang dibutuhkan, maka itu bukanlah kelebihan kapasitas. Itu hanya tingkat kapasitas dasar yang dibutuhkan dunia,” tambah dia.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement