REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Fenomena inses masih marak terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Inses alias pernikahan sedarah ini merupakan sistem pernikahan antardua orang yang sedarah alias masih dalam satu garis keluarga.
Secara hukum positif di Indonesia, pernikahan sedarah sama sekali tidak diberikan ruang. Kendati demikian, faktanya inses yakni persetubuhan sedarah atau pernikahan sedarah masih sering terjadi di Indonesia. Lalu bagaimana hukum pernikahan sedarah dalam Islam?
Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Mukti Ali Qusyairi menjelaskan, pernikahan sedarah ini haram hukumnya dalam Islam.
Dalam Alquran telah ditegaskan bahwa umat Islam dilarang untuk menikah dengan orang yang memiliki hubungan darah. Allah SWT berfirman:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ اُمَّهٰتُكُمْ وَبَنٰتُكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ وَعَمّٰتُكُمْ وَخٰلٰتُكُمْ وَبَنٰتُ الْاَخِ وَبَنٰتُ الْاُخْتِ وَاُمَّهٰتُكُمُ الّٰتِيْٓ اَرْضَعْنَكُمْ وَاَخَوٰتُكُمْ مِّنَ الرَّضَاعَةِ وَاُمَّهٰتُ نِسَاۤىِٕكُمْ وَرَبَاۤىِٕبُكُمُ الّٰتِيْ فِيْ حُجُوْرِكُمْ مِّنْ نِّسَاۤىِٕكُمُ الّٰتِيْ دَخَلْتُمْ بِهِنَّۖ فَاِنْ لَّمْ تَكُوْنُوْا دَخَلْتُمْ بِهِنَّ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ ۖ وَحَلَاۤىِٕلُ اَبْنَاۤىِٕكُمُ الَّذِيْنَ مِنْ اَصْلَابِكُمْۙ وَاَنْ تَجْمَعُوْا بَيْنَ الْاُخْتَيْنِ اِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ ۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا
Artinya: "Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu, anak-anak perempuanmu, saudara-saudara perempuanmu, saudara-saudara perempuan ayahmu, saudara-saudara perempuan ibumu, anak-anak perempuan dari saudara laki-lakimu, anak-anak perempuan dari saudara perempuanmu, ibu yang menyusuimu, saudara-saudara perempuanmu sesusuan, ibu istri-istrimu (mertua), anak-anak perempuan dari istrimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu) dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum bercampur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), tidak berdosa bagimu (menikahinya), (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu), dan (diharamkan pula) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya Allah adalah Mahapengampun lagi Mahapenyayang" (QS An-Nisa' [4]: 23)
Kiai Mukti menjelaskan, dalam ayat tersebut Alquran sangat ketat dan jelas merinci siapa saja yang menjadi mahram (haram dinikahi). Menurut dia, orang-orang yang tidak boleh dinikahi tersebut disebabkan oleh beberapa sebab.
"Jadi nasab di dalam Islam itu ada yang dengan sebab dilahirkan, ada juga yang dengan sebab disusui, itu yang mengakibatkan keharaman," ucap lulusan Universitas Al Azhar Mesir ini.
Menurut dia, ayat di atas juga menjelaskan satu hal bahwa penyusuan anak (ar-radha’ah) dapat menyebabkan ikatan kemahraman, yakni perempuan yang menyusui dan garis keturunannya haram dinikahi oleh anak yang disusuinya.
Selain itu, ada juga orang menjadi mahram karena disebabkan sebuah pernikahan. Sehingga, haram menikahi mertua laki-laki maupun perempuan. Kemudian, haram juga menikahi bibi atau paman dari istri/suami, kecuali jika sudah bercerai.
"Jadi kalau masih dalam pernikahan, haram menikahi bibi istri atau tante istri, kecuali kalau sudah cerai itu boleh dinikahi. Tapi kalau mertua tetap dilarang dinikahi meskipun sudah cerai, karena tidak ada mantan mertua," kata Kiai Mukti.
Di samping itu, di Indonesia ada juga masyarakat yang mengangkat seseorang sebagai anaknya. Menurut Kiai Mukti, pengangkatan anak dalam fikih Islam dikenal dengan sebutan tabanni.
Lalu bolehkah menikah dengan ibu yang mengangkat seorang anak?
Kiai Mukti mengatakan, dalam Islam boleh menikah dengan ibu angkatnya. Namun, dalam menentukan hukumnya harus dijelaskan lebih dahulu dari mana asal usul anak angkatnya tersebut. Karena, bisa jadi anak angkat itu memiliki hubungan mahram dengan orang tua angkatnya.
Maka, jika anak angkat itu adalah anak yang memiliki hubungan mahram dengan orang tua angkatnya maka diharamkan menikahinya karena hubungan mahram tersebut. Sebagai contoh, seorang perempuan yang mengambil keponakan laki-lakinya (anak laki-laki dari adik atau kakaknya) sebagai anak angkat.
Antara perempuan dan keponakan laki-lakinya tersebut jelas memiliki hubungan nasab yang menjadikan si keponakan sebagai mahramnya si perempuan. Dalam hal ini maka keponakan laki-laki haram dinikahi oleh perempuan yang menjadi orang tua angkatnya itu. Keharaman ini bukan dari status si laki-laki sebagai anak angkat namun karena sebagai mahram.
Sementara, jika anak angkat itu tidak memiliki hubungan mahram dengan orang tua angkatnya maka diperbolehkan bagi keduanya untuk menikah. "Jadi itu boleh dengan menikah ibu angkatnya (yang tidak memiliki hubungan mahram)," jelas Kiai Mukti.