Kamis 02 May 2024 13:05 WIB

Catatan Komisi X DPR pada Hardiknas 2024: Kebijakan Pendidikan Terlalu Top Down

Capaian sistem pendidikan Indonesia saat ini masih belum terlalu menggembirakan.

Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menilai, kebijakan arah pendidikan terlalu top down dan mempersempit keterlibatan masyarakat sipil.
Foto: DPR RI
Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda menilai, kebijakan arah pendidikan terlalu top down dan mempersempit keterlibatan masyarakat sipil.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Sistem pendidikan Indonesia masih menghadapi banyak tantangan dalam upaya meningkatkan kualitas peserta didik. Di momentum Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) 2 Mei saat ini, para pemangku kebijakan (stakeholder) pun dinilai perlu memperkuat kolaborasi dalam mencari terobosan perbaikan sistem pendidikan nasional. 

“Kami menilai saat ini perlu peningkatan kolaborasi antara penyelenggara pendidikan dan masyarakat untuk memastikan kebijakan arah pendidikan kita tidak bersifat top down. Selain itu kolaborasi ini dibutuhkan untuk menentukan prioritas kebijakan penyelenggara pendidikan agar sesuai dengan masalah yang ada di lapangan,” ujar Ketua Komisi X DPR RI Syaiful Huda, di sela Peringatan Hardiknas 2024, di Jakarta, Kamis (2/5/2023). 

Baca Juga

Dalam keterangan tertulisnya tersebut Huda mengatakan, capaian sistem pendidikan Indonesia saat ini masih belum terlalu menggembirakan. Hal itu bisa dilihat dari beberapa indikator seperti tingkat rendahnya kemampuan dasar siswa dalam bidang literasi, sains, dan matematika, masih belum tuntasnya persoalan kesejahteraan guru, hingga sempitnya akses pendidikan tinggi di Tanah Air. 

“Ironisnya berbagai tantangan besar tersebut terkesan dihadapi dengan kebijakan-kebijakan yang bersifat top down dan mempersempit keterlibatan masyarakat sipil di bidang pendidikan,” katanya. 

Dari data Human Capital Indeks (HCI) Bank Dunia, kata Huda, kualitas potensi sumber daya manusia (SDM) Indonesia dinilai masih kalah jauh dari Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Indonesia hanya menduduki peringkat 96 dari 173 negara. Sementara Singapura menduduki peringkat 1, Vietnam 38, Malaysia 62, dan Thailand 63. 

“Faktor yang membuat jeblok peringkat HCI Indonesia adalah rendahnya skor Indonesia dalam PISA dan tingginya prevalensi stunting anak-anak kita,” katanya. 

Hasil tes PISA Indonesia, lanjut Huda, memang menunjukkan kemampuan siswa Indonesia dalam literasi, sains, dan matematika relatif tertinggal dari negara lain. Pada 2022, skor PISA  Indonesia untuk literasi 359, sains 383, dan matematika 379. Capaian ini jauh tertinggal dari siswa Singapura di mana tingkat literasi 543, sains 561, dan matematikan 575. 

“Bahkan Indonesia tertinggal dari Vietnam di mana kemampuan literasi siswanya mencapai skor 462, sains 472, dan matematika 469,” katanya. 

Kebijakan Merdeka Belajar, kata Huda, juga dinilai banyak kalangan belum benar-benar memberikan kemerdekaan bagi penyelenggara pendidikan merumuskan praktik belajar mengajar terbaik sesuai kebutuhan peserta didik. Dalam praktiknya, kebijakan Merdeka Belajar masih terjebak pada kegiatan teknis-administratif yang memberatkan guru dan tenaga kependidikan.

“Penetapan Kurikulum Merdeka mulai tahun ajaran 2024/2025 juga menjadi kendala tersendiri meskipun ada masa penyesuaian hingga dua tahun ke depan,” katanya.

Politisi PKB ini berharap agar pemerintah memprioritaskan penyelesaian pengangkatan satu juta guru menjadi pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Langkah ini untuk memastikan solusi kesejahteraan guru yang menjadi masalah akut dari waktu ke waktu. 

“Dalam pandangan kami kesejahteraan guru ini menjadi kunci bagi apapun inovasi dalam peningkatan mutu sistem pendidikan kita. Jika guru sejahtera maka apapun kurikulumnya, apapun kompetensi peserta didik yang hendak dikembangkan, apapun metode belajar mengajar yang dipilih probabilitas keberhasilannya akan lebih tinggi,” katanya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement