Kamis 02 May 2024 13:19 WIB

Menaruh Harapan kepada PDIP dan PKS untuk Menjadi Oposisi

Demokrasi akan tetap sehat jika ada parpol yang bersedia menjadi oposisi pemerintah.

Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri mencoblos untuk Pemilu 2024 di TPS 53, Kebagusan, Jakarta, Rabu (14/2/2024).
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri mencoblos untuk Pemilu 2024 di TPS 53, Kebagusan, Jakarta, Rabu (14/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Nawir Arsyad Akbar, Febryan A, Eva Rianti, Antara

Pascaputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak gugatan sengketa hasil Pilpres 2024, dan penetapan pasangan Prabowo-Gibran sebagai pemenang pilpres oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), satu per satu partai politik (parpol) yang sebelumnya menjadi lawan paslon 02 memberi sinyal merapat ke kubu pemenang. Untuk menjaga iklim demokrasi tetap sehat, sebagian pengamat dan peneliti politik berharap akan tetap adanya parpol yang bersedia menjadi oposisi.

Baca Juga

"Mestinya PDI Perjuangan harus konsisten, ya, karena partai ini juga terbiasa untuk beroposisi. Jadi, tidak ada salahnya kalau PDI Perjuangan tetap beroposisi," kata Guru Besar Ilmu Politik Universitas Andalas Prof. Asrinaldi, Selasa (30/4/2024).

Asrinaldi mengatakan bahwa tidak masalah PDI Perjuangan menjadi oposisi pada periode pemerintahan mendatang karena telah menjadi partai penguasa selama dua periode, yakni 2014—2019 dan 2019—2024. Menurutnya, tradisi demokrasi harus terus dibangun dan harapan itu ada di PDIP.

"Dalam konteks kekuatan penyeimbang di parlemen, tentu harus ada upaya untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Tradisi demokrasi yang terus dibangun oleh PDI Perjuangan inilah yang diharapkan itu nanti," ujarnya.

Asrinaldi memperkirakan, selain PDIP, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) berpeluang menjadi oposisi. Jika kedua parpol itu menjadi oposisi, demokrasi selama pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka tetap terbilang sehat.

"Ya, paling tidak mereka punya pandangan yang sama bahwa porsi mereka di luar pemerintahan, dan mengawasi Prabowo-Gibran. Dengan cara seperti itu, demokrasi akan sehat," katanya.

Peneliti senior dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof Lili Romli mengatakan, PDIP dan PKS menjadi harapan terakhir untuk duduk di kursi oposisi. Menurutnya, kekuatan oposisi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih tetap dibutuhkan secara signifikan agar ada kontrol serta pengawasan terhadap pemerintah. Jika tidak ada oposisi, menurutnya kebijakan yang dimunculkan cenderung merugikan rakyat seperti di era Orde Baru.

"Kalau semuanya masuk, ya wassalam, DPR betul-betul tidak memainkan peran," kata Lili dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin lalu.

 

Lili menilai saat ini Presiden Terpilih Pilpres 2024 Prabowo Subianto ingin merangkul semua partai yang ada di luar koalisi pendukungnya, yakni Partai Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), hingga PKS. Namun belakangan, Prabowo baru melakukan komunikasi secara langsung dengan Nasdem dan PKB.

"Yang tersisa adalah PDIP, nah kalau PDIP kita ketahui juga ada dua faksi yang ingin tetap menjadi oposisi, dan ada yang ingin bergabung," kata dia.

Dia juga mengatakan ada sejumlah anggapan-anggapan bahwa para anggota DPR akan tetap memainkan fungsi pengawasan walaupun partai-nya berkoalisi dengan pemerintahan. Namun, dia menilai pengawasan itu tidak akan setajam jika partai dari anggota DPR tersebut menjadi oposisi.

Untuk itu, dia mengatakan bahwa demokrasi akan tetap bertahan jika tokoh-tokoh politik dan petinggi partai berkomitmen untuk menjadikan demokrasi sebagai sistem bernegara di Indonesia, dan tidak ada selintas pemikiran pun untuk kembali ke otoritarianisme seperti di masa silam. Apalagi, menurutnya saat ini ada dengungan-dengungan agar Indonesia kembali menganut Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 murni yang belum diamandemen.

"Saya berharap ada komitmen partai-partai dan elite politik untuk menjadikan demokrasi sebagai bentuk pemerintahan terbaik untuk Indonesia," kata dia.

Peneliti BRIN lainnya, Prof Firman Noor pun mengatakan, sebuah negara akan kuat dan makmur bila unsur oposisinya juga memiliki kekuatan sesuai dengan prinsip demokrasi. Menurutnya, hal itu sudah terbukti karena negara-negara yang paling makmur di dunia justru memiliki porsi oposisi yang kuat sebagai rekan pemerintah yang menjalankan pengecekan dan pengawasan.

"Jadi saya kira tidak masuk akal kalau ada oposisi berarti tidak stabil," kata Firman.

Dengan adanya wacana Partai Nasdem dan PKB yang bergabung dengan koalisi pemerintahan mendatang maka potensi oposisi hanya sebesar 25 persen. "Sekarang sepertinya oposisi akan menjadi minoritas, sekitar 25 persen saja atau lebih kurang, kandidatnya PKS dan PDIP," kata dia.

Firman memprediksi bahwa saat ini akan terjadi power regrouping atau rekonsiliasi politik hingga masa pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Partai-partai politik pun, menurut dia, bakal mencair dan bergerak sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

Selain itu, menurut dia, ada sejumlah partai politik yang tidak terbiasa berada di luar pemerintahan maka partai tersebut pun bakal mencari cara untuk masuk ke dalam pemerintahan guna menghindari perpecahan di internal partai. "Dan akan gayung bersambut karena memang ini terkait dengan banyak hal," kata dia.

photo
Lima hakim MK menolak permohonan pemohon dalam putusan sengketa Pilpres 2024. Tiga lainnya mempunyai pendapat berbeda. - (Republika)

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement