REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Departemen Luar Negeri (Deplu) AS menyimpulkan bahwa lima unit pasukan tentara Israel telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang serius terhadap warga Palestina di Tepi Barat sebelum serangan yang terjadi pada bulan Oktober.
Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, Vedant Patel menjelaskan bahwa Israel telah mengambil tindakan untuk memperbaiki kinerja terhadap empat unit tersebut, sehingga memperkecil kemungkinan sanksi AS. Konsultasi sedang dilakukan dengan Israel dengan unit kelima.
“Empat dari unit-unit ini telah secara efektif memperbaiki pelanggaran-pelanggaran ini, dan hal ini merupakan apa yang kami harapkan dilakukan oleh para mitra, dan konsisten dengan apa yang kami harapkan dari semua negara yang memiliki hubungan aman dengan kami,” kata Vedant Patel, Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS, dilansir dari GulfNews, Kamis (02/05/2024).
Menurut laporan pers yang telah mengidentifikasi kasus tersebut, terdapat sebuah batalyon yang disebut Netzah Yehuda yang sebagian besar terdiri dari orang Yahudi ultra-Ortodoks yang dituduh melakukan pelanggaran tersebut dan diindikasi merupakan bagian dari angkatan bersenjata. Pasukan tersebut diperkuat dengan 1.000 orang pasukan dan sejak 2022 telah ditempatkan di Tepi Barat.
“Setelah proses yang hati-hati, kami menemukan lima unit Israel bertanggung jawab atas insiden pelanggaran hak asasi manusia yang berat,” kata Vedant Patel.
Menurut Undang – undang AS, pemerintah dilarang mendanai atau mempersenjatai pasukan keamanan asing yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia. Amerika Serikat banyak memberikan bantuan militer kepada sekutu – sekutunya di seluruh dunia, termasuk Israel.
Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Israel mengomentari pernyataan dari Juru Bicara Deplu AS tersebut. Netanyahu marah karena Israel memiliki kemungkinan dijatuhkan sanksi oleh Amerika Serikat terhadap unit militernya karena telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia dan mengatakan bahwa tentara tidak boleh dihukum saat negara sedang berperang.
Kasus ini terjadi ketika pemerintahan Presiden Joe Biden berada di bawah tekanan untuk menuntut pertanggungjawaban dari Israel atas cara mereka melancarkan perang melawan Hamas, dengan jumlah korban sipil yang begitu tinggi.