REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Para ulama kalangan Syafiiyah meyakini kebolehan adzan untuk selain sholat. Setidaknya terdapat dua kondisi yang membolehkan seseorang untuk mengumandangkan adzan di saat tersebut.
Menurut para ulama kalangan Syafii, mengumandangkan adzan untuk selain sholat memiliki dasar dan bukanlah sesuatu yang mengada-ada.
Ahmad Zarkasih dalam buku Risalah Adzan menjelaskan, apa yang ulama Syafiiyah fatwakan mengenai perkara tersebut memiliki dasar yang sesuai dengan kaidah istinbath yang juga tidak serampangan. Dan nyatanya, sahabat Nabi Muhammad SAW, Bilal bin Rabah, pernah mengumandangkan adzan untuk selain sholat.
Dan itu atas perintah Nabi Muhammad SAW, hal ini sebagaimana yang diriwayatkan Imam Bukhari dan Imam Muslim:
عن عبد الله بن مسعود، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: لا يمنعن أحدكم، أو أحدا منكم، أذان بلال من سحوره، فإنه يؤذن، أو ينادي، بليل ليرجع قائمكم، ولينبه نائمكم
An Ibni Mas’ud RA qaala: Qaala Rasulullah SAW, ‘Laa yamna’anna ahadan minkum adzaanu bilalin, aw qaala nidaa-u Bilalin, min suhurihi. Fa-innahu yuadzzinu, aw qaala yunaadiy, bilalin, liyarji’a qaa-imakaum wa yuqizhu naa-imukum."
Yang artinya, “Dari Abdullah bin Mas’ud RA beliau berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Janganlah kalian berhenti untuk menyantap sahur jika kalian mendengar adzannya bilal. Karena sesungguhnya adzan bilal itu untuk memulangkan orang-orang yang beribadah (di malam hari), dan membangunkan orang yang tidur."
Dijelaskan bahwa hadits ini cukup menjadi dasar bahwasannya sejak dulu Nabi Muhammad SAW sudah menggunakan adzan untuk selain sholat. Akan tetapi untuk memberikan kabar kepada mereka-mereka yang sedang beribadah sejak malam hari agar bersegera untuk sahur karena sudah dekat waktu subuh.
Atau untuk bersegera menutup sholatnya dengan witir dan beristirahat karena sudah dekat waktu subuh. Juga digunakan adzan tersebut untuk membangunkan orang-orang yang tidur agar segera bangun dan menyantap sahur mengingat waktu subuh sudah dekat.
Lantas, apa saja contoh adzan yang boleh dan bahkan disunahkan dikumandangkan untuk selain sholat? Berikut rincian serta dalilnya:
1. Adzan untuk bayi baru lahir
Madzhab Syafiiyah mensunnahkan adzan untuk bayi baru lahir di telinga kanan, dan iqamah di telinga kiri.
Dalilnya berdasarkan sabda Rasulullah SAW, “Dari Abdullah bin Abbas RA, bahwasannya Nabi SAW melakukan adzan di kuping kanan Hasan bin Ali di hari lahirnya beliau, dan iqamah di kuping kirinya."
2. Adzan mayit qiyas adzan bayi.
Dari banyak literasi ulama kalangan As-Syafiiyah, disebutkan memang adanya perdebatan internal mereka sendiri tentang boleh tidaknya adzan untuk mayit ketika dimasukkan ke liang lahat. Sebagian membolehkan, tapi tidak sedikit justru yang melarangnya.
Ulama-ulama yang membolehkan dan bahkan menganjurkan adzan mayit ketika dimasukkan ke liang lahat dan dan setelah dibukakan ikatan-ikatan kain kafannya, beralasan bahwa itu diqiyaskan dengan adzan bagi bayi yang baru lahir.
Sehingga, pokok dasarnya adalah kesunahan mengadzankan bayi yang baru lahir. Dan cabangnya atau far’u-nya adalah mengadzankan mayit ketika dimasukkan ke liang lahat. Dan sebab kesamaan yang membuat far’u mengikuti hukum dasarnya adalah kesamaan memasuki alam baru.
Yakni baru masuk ke alam dunia setelah sebelumnya di alam rahim. Sedangkan mayit baru saja meninggalkan alam dunia dan masuk ke alam kubur. Ada juga yang menyebut bahwa sebab kesamaan yang menggabungkannya adalah antara awal dan akhir. Antara permulaan dan penutupan. Bahwa bayi diadzankan karena sebab permulaannya masuk ke alam dunia. Maka ketika ia mengakhiri petualangannya di alam dunia ini, ditutuplah dengan adzan.
Akan tetapi sayangnya, alasan qiyas seperti ini saja ditolak oleh ulama-ulama Syafiiyah sendiri yang memang sejak awal menolak adanya adzan untuk mayit di liang lahat. Syekh Al-Bakriy mengatakan, “Ketahuilah bahwasannya tidak dianjurkan adzan ketika memasukkan mayit ke kubur. Berbeda dengan pendapat ulama yang menyebut kebolehannya karena qiyas dengan bayi yang baru lahir, di mana ia baru pertama kali masuk ke alam dunia, dan mayit yang baru meninggalkan alam dunia."
Ibnu Hajar Al-Haitami menyebutkan, “Aku telah membantah pendapat tersebut dalam kitabku Syarhu Al-Ubab. Akan tetapi jika ia dimasukkan ke liang lahat berbarangan dengan adzan, itu akan memberikan keringanan dalam menjawab pertanyaan (munkar dan nakir)."