REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pada Selasa (30/4/2024) kemarin dilaporkan tentara Israel tengah bersiap menginvasi Rafah di Jalur Gaza selatan dalam waktu 72 jam jika kesepakatan gencatan senjata tidak tercapai.
Pengamat Timur Tengah, Yon Mahmudi mengatakan, jika Israel benar-benar melancarkan serangannya, maka akan menjadi kesalahan fatal bagi Israel.
"Jika Israel kemudian benar benar menyerang Kota Rafah, ya, yang ada di perbatasan, tentu ini merupakan kesalahan fatal yang dilakukan oleh Israel," ujar Yon saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (3/5/2024).
Karena, lanjut dia, dunia internasional hampir sepakat tidak menyetujui adanya serangan terhadap Kota Rafah yang ada di perbatasan itu, di mana ada hampir 1 juta lebih para pengungsi yang terjebak di wilayah itu.
"Jadi, kalau serangan itu dilakukan dalam skala yang sangat besar, bisa dipastikan pasti akan memakan korban yang jumlahnya juga tentu sangat besar," ucap Yon.
Dia mengatakan, Amerika Serikat sendiri sebenarnya juga tidak memberikan lampu hijau kepada Israel untuk melakukan serangan ke Rafah.
"Hanya saja, perkembangan terakhir ketika terjadi eskalasi antara Israel dan Iran, maka terjadi semacam kesepakatan Israel dalam tanda kutip diberi keleluasan untuk melakukan serangan ke Rafah secara terbatas, asal tidak melakukan serangan balik kepada Iran guna mencegah situasi yang semakin meluas di kawasan," kata dia.
Jadi, kalau serangan Israel ke Rafah itu dilakukan dan bisa dipastikan akan jatuh korban yang lebih banyak, maka bisa menjadi akhir dari pemerintah kelompok garis keras di Israel yang dipimpin Netanyahu.
"Karena itu tadi, sebagian besar Barat tidak menginginkan dilanjutkan serangan dan menginginkan terjadinya gencatan senjata.
Bahwa ini adalah pelanggaran yang nyata terhadap resolusi PBB yang meminta di lakukan gencatan senjata," jelas Yon.
Namun, menurut dia, Israel tampaknya tidak mau mengikuti kesepakatan atau keputusan dari PBB tersebut dan Amerika memang memberikan tekanan bahwa keputusan PBB itu tidak mengikat.
"Nah ini kan benar benar standar ganda yang dilakukan oleh Amerika dan Israel, tidak mengakui otoritas PBB di dalam hal menyelesaikan persoalan internasional," ucap Yon.
Maka, tambah dia, bisa dipastikan kalau negara besar seperti Amerika saja yang mendukung Israel tidak mau mematuhi PBB, maka tentu tidak bisa diharapkan negara-negara lain akan melakukan hal yang sama.
"Ini tentu menjadi contoh buruk bagaimana terjadi pelanggaran kemanusiaan, pelanggaran HAM berat dan itu tidak ada tindakan hukum yang dilakukan oleh internasional, karena ini benar-benar melanggar hukum internasional," kata pengamat dari Universitas Indonesia ini.
Sebelumnya diberitakan, media Israel pada Selasa (30/4/2024) mengutip sumber-sumber militer yang mengatakan tentara Israel siap menginvasi Rafah di Jalur Gaza selatan dalam waktu 72 jam jika kesepakatan gencatan senjata tidak tercapai.
Situs berita Israel Ynet melaporkan Kepala Staf militer Israel Herzi Halevi membenarkan rencana serangan terakhir militer ke Rafah dengan rencana memindahkan warga sipil menuju wilayah di Jalur Gaza tengah.
Situs itu mengutip sebuah sumber tanpa menyebutkan nama bahwa tank-tank tentara Israel dan pasukan telah bersiap di perbatasan Gaza, dan siap menunggu lampu hijau untuk menyerang.