REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim kemungkinan besar akan menyebabkan migrasi besar-besaran spesies ular berbisa ke wilayah-wilayah baru dan negara-negara yang belum siap. Demikian menurut sebuah studi baru yang dipublikasikan dalam jurnal Lancet Planetary Health.
Para peneliti memperkirakan bahwa Nepal, Niger, Namibia, Cina, dan Myanmar akan mendapatkan spesies ular berbisa terbanyak dari negara-negara tetangga dalam kondisi iklim yang memanas.
“Negara-negara berpenghasilan rendah di Asia selatan dan tenggara, serta beberapa bagian Afrika, akan sangat rentan terhadap peningkatan jumlah gigitan ular,” kata studi tersebut seperti dilansir The Guardian, Sabtu (4/5/2024).
Penelitian ini memodelkan distribusi geografis dari 209 spesies ular berbisa yang diketahui dapat menyebabkan keadaan darurat medis pada manusia, untuk memahami di mana spesies ular yang berbeda dapat menemukan kondisi iklim yang menguntungkan pada tahun 2070.
Meskipun sebagian besar spesies ular berbisa akan mengalami penyusutan wilayah jelajah akibat hilangnya ekosistem tropis dan subtropis, habitat beberapa spesies seperti ular berbisa gabon Afrika Barat akan meningkat hingga 250 persen.
Wilayah jelajah ular asp dan ular berbisa bertanduk di Eropa juga diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2070. Namun, beberapa ular, termasuk ular berbisa viper Afrika dan ular pit viper di Amerika diperkirakan akan kehilangan lebih dari 70 persen wilayah jelajahnya.
"Semakin banyak lahan yang dikonversi untuk pertanian dan peternakan, hal ini menghancurkan dan memecah habitat alami yang menjadi tempat tinggal ular," kata penulis studi Pablo Ariel Martinez dari Federal University of Sergipe di Brazil dan Talita F Amado dari Pusat Penelitian Keanekaragaman Hayati Integratif Jerman di Leipzig, Jerman.
Namun, beberapa spesies ular generalis, terutama yang menjadi perhatian medis, dapat beradaptasi dengan lanskap pertanian dan bahkan tumbuh subur di ladang pertanian atau area peternakan yang menyediakan sumber makanan seperti hewan pengerat.
"Penelitian kami menunjukkan bahwa ketika ular berbisa mulai muncul di tempat-tempat baru, ini merupakan peringatan bagi kita untuk mulai memikirkan bagaimana kita dapat menjaga diri kita dan lingkungan kita tetap aman," kata para penulis studi.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan 1,8 hingga 2,7 juta orang digigit ular berbisa setiap tahunnya, menyebabkan hingga 138 ribu kematian dan setidaknya 400 ribu orang harus diamputasi dan mengalami cacat permanen. WHO mengkategorikan gigitan ular sebagai penyakit tropis terabaikan dengan prioritas tertinggi pada tahun 2017.
"Kami sekarang akhirnya mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana ular akan mengubah distribusinya akibat perubahan iklim, tetapi ada juga kekhawatiran besar bahwa mereka akan menggigit lebih banyak orang jika suhu yang hangat, peristiwa cuaca basah yang parah, dan banjir yang membuat ular dan manusia semakin sering terjadi," ujar Anna Pintor, seorang ilmuwan peneliti dari kelompok penyakit tropis terabaikan WHO.
Soumyadeep Bhaumik, seorang dosen kedokteran di University of New South Wales di Sydney yang tidak terlibat dalam penelitian ini, menambahkan bahwa gigitan ular pada dasarnya adalah konflik antara manusia-hewan-lingkungan. Pemodelan ini tidak memperhitungkan bagaimana manusia akan beradaptasi/berubah terhadap perubahan iklim.
“Namun, studi global ini menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan dalam pengetahuan. Kebutuhan negara-negara dengan beban (gigitan ular) yang tinggi untuk berkolaborasi dengan negara-negara tetangga adalah sesuatu yang digarisbawahi oleh studi baru ini,” kata Bhaumik.